19. Perasaan yang nyata

2.6K 126 0
                                    

Tepat di belakang sekolah yang sepi, banyak murid laki-laki berkumpul. Mereka membolos pelajaran. Kebanyakan dari mereka ialah cowok yang tidak bisa di katakan menaati peraturan. Seragam tidak di masukan, dua kancing teratas terbuka, tidak memakai dasi, kepala sabuk yang besar. Dan Derlan termasuk salah satu dari mereka. Kebanyakan mereka telah menginjak kelas 12, namun ada beberapa juga yang masih kelas 11 maupun kelas 10.

"Gue dapet kabar kalo Balia nyerang kita ntar balik sekolah"

Balia. Mereka, anak-anak cowok Tri Sakti menyingkat dari yang Bakti Mulia menjadi Balia.
Bakti Mulia dengan Tri Sakti memang musuh bebuyutan, selalu saja ada yang di ributkan.
Entah awal permasalahannya dimana, namun jika di korek lebih dalam lagi, memang Bakti Mulia lah yang tidak ingin kalah dari Tri Sakti.

Reno, pentolan Tri Sakti yang menginjak kelas 12 itu memetik rokoknya menghembuskan asapnya ke udara "Apa lagi masalahnya?"

Jawab Tio "Kagak ada perasaan, terakhir waktu itu udah kita kelarin,"

Timpal Kevin "Setau gue anak Tri Sakti juga gak ada yang nyari masalah ama Balia"

Derlan sibuk dengan pikirannya. Mengira-ngira sebenarnya mengapa Balia ingin kembali menyerang sekolahnya.
Dan Derlan teringat sesuatu.

"Kemarin Tri Sakti menang futsal, apa mereka balas dendam karena kekalahannya?"

Reno menolehkan wajahnya pada Derlan, memusatkan fokusnya pada Derlan.

"Emang sekolah kita menang futsal?"

Fian menoyor kepala Reno, "Halah pentolan gak uptodate lo, kabar begitu kagak tau"

Tio terkekeh "Ilang mas kegaranganmu,"

Reno memberikan tatapan tajamnya dan seketika Tio bungkam.

Reno berucap "Bego, gue heran kenapa setiap sekolah kita menang, Balia jadi nyerang sekolah kita"

Lanjut Reno seraya tersenyum miring "Gue gak sabar buat ngancurin muka Bagas yang sok kegantengan itu,"

Bagas merupakan pentolan Balia. Sifat yang sok angkuh itu membuat Reno jijik. Apalagi yang dengan pedenya ia menggait banyak perempuan namun ujung-ujungnya di depak jauh-jauh jika sudah bermain dengan perempuan yang di dekatinya. Sungguh membuat Reno jijik.

Derlan bangkit berdiri dari kursi yang ada di belakang sekolah "Gue yakin ini pasti gara gara sekolah kita menang, gak salah lagi. Strategi lo apa Ren?"

Derlan tidak memanggil Reno dengan embel-embel kak walaupun seharusnya ia harus.

Reno membuang rokoknya ke tanah lalu menginjaknya "Tio, lo jaga gerbang depan. Fian, lo jaga gerbang belakang jangan sampe ada murid yang keluar. Rifki, lo jaga murid dan guru guru suruh kumpul di lapangan dalem, jangan boleh pulang dulu, kalo perlu umumin ntar di ruang guru pake speaker. Derlan dan yang lain ikut gue ngabisi mereka semua,"

Perintah itu di angguki oleh mereka semua.

****

"Sekolah macem apa sih ini? Free mulu dari tadi, gurunya pada kemana sih?"

Difa mengendikan bahunya tanda tidak tahu. Sedari tadi memang tak ada satu guru pun yang memasuki kelasnya. Membuat Difa bosan, lain halnya dengan Farah yang ngapel di pojok kelas bersama pacarnya yang ketiga.
Difa menggeleng-gelengkan kepalanya.

Vania memasang muka risihnya menatap Farah dan pacarnya "Serius amat tuh jumila mojoknya,"

Terdengar suara yang berasal dari pojok kiri atas kelas Difa.

Regret [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang