Bab Tiga

1.3K 101 7
                                    

ANGIN terasa menusuk kulit. Fiona merenggangkan tubuh, kelopaknya menerjap beberapa kali, beradaptasi dengan kumpulan cahaya yang tertangkap netranya.

Ada apa?

Itu yang muncul dalam benaknya saat melihat keadaan sekitar, bukan kediamannya, melainkan kamar hotel. Menoleh, gadis itu terkejut bukan main. Lebih dari itu, ketika netranya beralih pada tubuh yang terasa dingin, ia rasanya ingin menangis.

Apa yang baru saja terjadi?

Apa ia habis tidur dengan dosennya sendiri?

Tanpa ikatan?

Buru-buru Fiona bangkit, ia pegangi selimut agar tidak menampilkan lekuknya yang kentara. Matanya menelusuri penjuru ruangan, mencari pakaiannya yang tergeletak cukup jauh dari ranjang.

Ia berdecak. Masalahnya, tidak mungkin secara egois ia menarik selimut hanya untuk menutupi dirinya seorang. Fariz juga bugil. Kepala Fiona rasanya ingin meledak.

Haruskah dirinya menggapai kain itu sambil bertelanjang?

Gerakan gelisahnya ternyata mengantarkan usikan terhadap lelapnya seseorang. Kelopak matanya secara perlahan terbuka, ia belum menyadari keadaan yang sesungguhnya. Sampai ia tercekat karena mendapati punggung polos tertutupi rambut panjang menjadi sambutan iris coklatnya.

Fariz langsung melihat ke dirinya dan mendapati tubuh yang sama polos membuat napasnya raib. Terlebih saat kepala pemilik surai--yang diakui hatinya indah itu--menoleh lantas terkejut. Pria itu merasa kecepatan jantungnya sudah melebihi batas.

"Fi--Fiona?!"

"Pak Fariz...." Gadis itu tidak mampu merangkai kata, otaknya benar-benar buntu.

Membuang wajah, Fariz menyadari matanya memandang aurat yang bukan mahram. Bergegas, pria itu mengambil apa pun yang dapat menutupi diri.

Fiona memandangi gelagatnya dengan paras memerah. Ia memejamkan mata begitu erat, tidak mau merusak privasi kala langkah tegap Fariz tercipta menuju kamar mandi.

Ini benar-benar jauh dari dugaan.

Selama mandi, Fariz memutar kembali adegan. Terdapat bayangan Fiona mendatanginya dengan membawa sebotol minuman, gadis yang menjadi mahasiswanya itu bertanya-tanya tentang profesi, setelahnya pria itu sudah tidak ingat apa pun kecuali rasa kantuk yang mendera.

Ia melafalkan istigfar berkali-kali sembari meninju dinding kamar mandi. Sekarang pria itu menumpahkan segala penyebab pada Fiona. Ternyata mahasiswanya itu serigala berbulu domba. Fariz terlalu lengah sampai hal ini menimpanya. Ia yang semula menyukai segala yang ada pada gadis itu, seketika muak.

Ia benci.

Benci cara murahan yang dipakai Fiona untuk menjebaknya.

Fariz langsung keluar. "Kamu yang merencanakan ini ke saya, kan?!" Pria itu menyentak dengan nada tinggi.

Terkejut, lantas ia menggeleng karena takut. "Saya nggak tau apa-apa, Pak."

Fariz menghela napas, pria itu memandang segala arah, menghindari matanya dari aib. Jengah, tentu saja. Perilaku sok polos yang menunjukkan bahwa dirinya korban juga padahal jelas ia pelakunya.

"Pak, tolong percaya saya." Fiona rasanya ingin menangis, entah mengapa ia tidak mau Fariz kecewa padanya. Ia mengais diri pria itu, yang semula dekat tapi sekarang bersekat.

"Fiona...." Kepalan tangan Fariz menguat. "Kamu yang menjerumuskan saya pada dosa besar dan kamu minta saya percaya sama kamu?!"

"Saya benar-benar nggak tau soal ini, Pak."

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang