Bab Delapan Belas

947 66 12
                                    

MENGEMUDIKAN transportasi roda empatnya tidak langsung menuju rumah, Fariz mewanti jam. Masih ada waktu untuknya mampir sebentar ke rumah Arfan karena panggilan sang sahabat baru ia terima ketika pamitan dengan Tina.

Begitu sampai, ia pun langsung melanjutkan perjalanan dengan langkah kaki ringan menuju sebuah rumah. Tetibanya, ia langsung disambut dua bocah.

"Om Paiz!" Ahlan yang heboh, menggapai tubuh tegapnya supaya memeluk bocah itu. Sedangkan Sahlan hanya mencium punggung tangan sembari tersenyum tanpa mengatakan apa pun.

"Fariz, Sayang." Dengan gemas ia mencium pipi gembul Ahlan.

"Maunya Paiz biar gampang." Gelengan kepalanya menambah keimutan yang berlipat, membuat Fariz tak dapat menahan rasa teringin punya anak segera.

Sabar, Fariz. Nasihat otaknya. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu, pelaku sampingan sudah ditangkap, masih menjalani tes karena harus mengetahui atas dasar apa melakukan tindak kejahatan seperti memasang bom. Bisa jadi suruhan pelaku lainnya yang lebih berkuasa. Dan tugas Fariz masih mengambang, pelaku utama masih dalam pencarian tim Zachary.

Arfan datang tak lama. Mereka langsung memasuki rumah dan memulai pembicaraan inti mereka.

"Kalau pelaku utamanya sudah tertangkap, ente mulai ikut sidang, ya."

Fariz mengangguk tanda mengerti. "Ane udah siapin bahan, kok. Insya Allah, kasus Talina menang."

"Aamiin. Ane udah nyuruh Ary datang ke sini, mungkin dia lagi dalam perjalanan." Berhenti sebentar untuk melihat jam tangannya, suara Arfan kembali terdengar. "Ente lagi nggak sibuk 'kan? Maaf ane nyuruh dateng tiba-tiba."

"Nggak apa-apa. Memang patutnya ane siap sedia kapan pun."

"Tolong bilang ke istri, ya. Maaf udah ganggu kebersamaannya." Mengikut gelak tawanya yang terdengar mengejek. "Ane belum pernah ketemu istri ente. Kenalin coba!"

"Pas banget, waktu kemaren ente udah jalan pulang, dia balik."

"Yah, belum jodoh."

Tepat saat itu, Zeenda tiba, memberikan dua cangkir berisi teh kepada mereka seraya berdeham mengingatkan akan kalimat sang suami yang menyindir.

"Jodoh di sini, udah punya buntut lagi."

Mendengarnya, Arfan berusaha meluruskan. Tentunya ia tidak mau nanti malam berakhir tidur di teras hanya karena kalimatnya yang ambigu.

Sedangkan Fariz melihatnya hanya mengulum senyum geli. Matanya tak sengaja menatap jarum jam yang menunjukkan pukul enam pagi lewat lima belas. Teringat soal Subuh tadi, begitu azan berkumandang ia segera pamit, meninggalkan Tina dengan rasa beratnya. Pasti ia masih gelisah, dua wanitanya sedang kurang sehat tapi mereka dibentangi jarak yang cukup jauh. Andai, Fariz berharap tubuhnya dapat terbagi. Nyatanya tidak bisa.

Tak lama, Zachary tiba, mereka membahas hal yang memang penting saja, selebih itu hanya selingan untuk mengurangi taraf keseriusan. Setelah itu, Fariz pamit pulang, ia tidak mau berlama-lama, mengingat janji yang ia tujukan pada Fiona untuk pulang saat Subuh, pasti gadis itu akan mempertanyakannya karena rentang waktu yang terjadi lebih dari masa perjalanan yang dibutuhkan.

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang