Bab Sembilan Belas

981 60 4
                                    

TUBUH yang menjulang itu seketika hilang arah. Ia memandang nanar pada dokter yang baru saja menjelaskan kondisi yang menimpa sang istri.

"Maaf kami tidak bisa membantu banyak." Dokter itu pun merasa hal yang sama. "Tapi Tuhan sudah mengaturnya dan kita hanya bisa menerima. Mohon sabar dan tabah."

Fariz menggeleng, perlahan air matanya meruak lantas mengalir deras, menjejaki tulang pipinya yang tegas. Ia tidak peduli pada dokter itu lagi. Langsung saja langkah kaki membawa Fariz menuju sang istri yang terbaring dengan mata kosong. Cahayanya pupus, hingga ia rasa ingin ikut saja menuju alam baka.

"Fiona." Memanggil, ia tidak mau membuang waktu. Segera tubuhnya bergerak sesuai insting, memeluk sang istri yang mulai sadar akan dunia.

"Kak, aku minta maaf." Kembali, ia menangis. Air mata yang merujuk pada penyesalan penuh. Pernah ada kehidupan yang dititipkan padanya tapi ia rasa bersalah tidak bisa menjadi tempat yang tepat, terlalu ceroboh. Alhasil, janin yang sedang dalam proses tumbuh itu harus menghempaskan mimpi dapat lahir ke dunia.

Fariz berdesis, ia mengeratkan pelukannya sembari menyeka dan menahan mati-matian cairan ain yang hendak ke luar. "It's okay."

"Kak...." Hilang sudah pusatnya berjejak. Ia tidak bisa melakukan apa pun selain meratapi, menangis dan membalas gerak tubuh suaminya. Fiona menjadikan Fariz sebagai sandaran terkuatnya menghadapi fakta yang ia terima hari ini.

Keduanya sesat mendadak. Hanya interaksi sederhana yang mampu memegang mereka agar tetap sadar pada buana yang menjadi tempat semestinya berada.

***

Kepalan tangan itu menguat, sorot matanya berubah menjadi tajam. Sedangkan di hadapannya, seorang gadis harap-harap cemas menunggu jawabannya, mewanti agar amarahnya dapat ditahan.

"Jangan dendam, aku mohon." Lengan kokoh itu dielus pelan oleh Fiona, ia sebetulnya tidak ingin menceritakan penyebab keguguran pada Fariz, mengingat pelakunya adalah Agus. Hanya saja, sang suami memaksanya untuk jujur. Di sini ia sekarang.

"Nggak bisa, Fi." Tubuhnya hendak bangkit, tidak peduli lagi, amarah sudah sampai di ubun-ubun.

Agus boleh mengacuhkannya, meninggalkan ia dan Tina tanpa nafkah yang dijanjikan, menyumpahinya agar masuk Neraka. Namun, tidak akan pernah Fariz biarkan Agus menganggu lebih jauh. Tidak peduli bahwa pria tua itu adalah ayah kandungnya. Fariz benar-benar lupa dunia.

Sesaat ia hampir melangkah dalam jeratan setan, satu pelukan itu menahannya untuk tidak berbuat jauh.

"Jangan!" Suaranya lirih. Meski sedang dalam fase pemulihan, Fiona tidak mau membiarkan suaminya melakukan sesuatu yang buruk. "Bagaimana pun beliau ayah kamu, Kak!"

Penyadaran sang istri membuatnya insaf. Ia menghela napas, lelah tentunya kentara. Kesedihan itu merengkuh jiwanya dengan kuat, sebentar saja ia sudah bisa menjabat gelar yang diinginkan. Seorang ayah. Nyatanya calon bayi mereka harus merenggang nyawa bahkan ketika masih dalam proses pembentukan.

"Tapi anak kita--"

Gadis itu memutar tubuh suaminya. Kedua tangan bergetar itu naik, menangkup wajah sendu Fariz. Desisannya terdengar lembut, seolah simfoni untuk mengistirahatkan sang suami dari masalah yang mendera mereka. "Istigfar. Bukan keinginan aku, kamu, atau Bapak, calon anak kita sampai tiada. Tapi ini kodrat Allah, semua udah diatur."

"Fiona...." Inginnya Fariz mengumpat, tersadar ia tidak boleh menyialkan hari. Tubuhnya tumbang, dalam rengkuhan Fiona, bergetar, tangis mulai datang kembali. Ia menyesal, harusnya ia bisa pulang lebih awal. "Aku minta maaf. Aku ... Aku betul-betul minta maaf."

"It's okay, seperti kata kamu." Fiona mengecup bagian samping kepala suaminya.

Yaumnya boleh berat tapi mengeluh bukan bagian dari orang yang berhak mendapat rahmatNya. Setiap ujian pasti memiliki hikmah di balik itu semua. Entah kita menyadari atau tidak tapi Ali Bin Abi Thalib selalu berpesan; yakinlah ada sesuatu yang menantimu, selepas banyak kesabaran yang kau jalani, yang akan membuatmu terpana, hingga kau lupa pedihnya sakit.

Kehilangan bukan memang keinginan semua orang. Namun, hidup hanya soal dua perkara. Ditinggalkan atau meninggalkan. Kita tidak bisa mengelak, selamanya kodrat alam akan bekerja seperti itu.

***

"Kakak nggak kerja?"

Sudah sepekan sejak kejadian batin tersebut, Fiona rasa Fariz berubah. Jadi terlalu lengket dengannya. Bahkan ini juga genap sepekan pria itu tidak menyibuki diri dengan pekerjaan macam biasa.

"Zachary mengerti, kok. Aku minta waktu setidaknya tujuh hari."

"Dan ini udah tujuh hari." Fiona menyentil kening Fariz yang sudah maju, hendak menciumnya. "Aku baik-baik aja, nggak perlu khawatir. Memangnya Kakak belum ikut sidang? Pelakunya gimana?"

"Aku belum dapat info lagi dari Zachary. Tapi bawahan pelaku utama udah melewati tes dan dia membocorkannya. Setelah pelaku utama udah ditangkap, baru diadakan sidang."

"Terus? Dapat gambaran?"

Fariz menggeleng. Ia bergelung nyaman di atas ranjang sambil tangan tak melepas tubuh istrinya. Ah, rasanya memeluk saja tidak cukup. "Pihak kepolisian masih mencari sesuai fakta yang udah dijabarkan pelaku sampingan. Aku harap cepat selesai kasus ini supaya aku bisa fokus ke kamu."

"Ih, Kak!" Suaranya nyaring, mendengar kalimat suami yang masih memiliki makna khawatir di dalamnya. "Nggak usah khawatir sama aku lagi, sudah sepekan. Aku insya Allah ikhlas."

"Ikhlas itu nggak disebut, Fi. Selain itu juga aku 'kan mau menembus hari-hari kita sebelumnya. Setelah menikah belum sempat honeymoon."

"Sejak kapan kamu cheesy kayak gini, Kak?"

"Sejak aku sadar perasaan aku sama kamu."

"Ih, jangan gombal!" Wajahnya sudah bersemu merah. Ini hal yang baru didapatkannya dari Fariz. Dari kejadian batin beberapa hari lalu, mengubah suaminya dari dewasa menjadi manja. Tentu saja berefek besar pada degup jantung. Ia tidak terbiasa dengan kelekatan Fariz sekarang. Meski di lain sisi, hatinya serasa terbang ke awang.

"Aku nggak gombal." Diam sejenak, napasnya berhembus pelan. Sesuatu menghantam pemikirannya. "Fiona, kapan kita bisa memulai lagi?"

"Memulai?" Tidak mengerti, kerutannya menampak pada kening. "Memulai apa?"

"Itu...." Ia meneguk salivanya karena gugup. "Kamu tau, setelah keguguran, kapan rentang waktu untuk mencobanya lagi?"

"Eh?"

"Kapan kita bisa berhubungan lagi?" Ia memperjelas, menambah warna merah pada wajah sang istri.

"Setahu aku tiga bulan, Kak. Memang kenapa?"

"Nggak bisa lebih cepat?"

"Hah?" Fiona rasa wajahnya sudah kelewat bodoh sekarang. Selain memerah macam kepiting rebus, bibirnya pun membentuk huruf vokal terakhir. "Tiga bulan bukan keputusan dari medis. Maksud aku, dokter hanya memperkirakan saja karena untuk menyembuhkan trauma. Kalau pasangan sudah siap, bisa dilakukan kapan pun, Kak."

Mendengarnya, tubuh Fariz agak bangkit. Sorot mata tepat pada milik istrinya, membuat sang gadis mengap-mengap ditatap seperti itu. "Mau coba? Aku tahu terlalu cepat, kalau kamu belum siap, aku bisa menunggu."

"Eh, bukan masalah itu." Ia segan sebetulnya untuk menolak. Kalau pun melakukannya, Fiona tidak memiliki alasan pasti mengapa ia melewatkan kesempatan ini. Akhirnya dengan satu tarikan napas, ia coba menenangkan diri. Jika tidak sekarang, kapan lagi?

"Ayo, kita coba sekarang." Tangannya mengalung, mengikis jarak mereka hingga tidak ada lagi celah bagi siapa pun untuk menghalangi.

Keduanya benar-benar dekat, seolah seperangkat yang memang tidak bisa dipisahkan. Napas-napas mereka bersahutan, memenuhi ruang kamar yang merindu satu pasangan untuk memadu kasih.

Tubuh bergerak sesuai insting, mengandalkan perasaan dan Tuhan. Buta, tuli, bisu mendera Fariz dan Fiona akan ardi yang menjadi penopang keduanya. Mereka tidak memikirkan apa pun, kecuali berharap dapat diberikan amanah lagi sesegera mungkin.

*****
bertalian

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang