Bab Dua Enam

844 51 9
                                    

KEPALA tidak berani menengadah, kakinya terlipat, duduk bersimpuh di hadapan perempuan renta yang menyandang gelar sebagai ibunya.

Diam sang ibu seperti sakit menimpa sesal terlambat nan menghinggapinya. Fariz sampai tidak peka akan kesemutan yang mulai menjalar karena terlalu lama merahap.

Satu tangan itu menggapainya lantas mengelus rahang tegas si pria dengan lembut. Tidak ada bedanya sama elusan dari sang istri.

"Kita nggak bisa apa-apa lagi, kan." Senyumannya terlihat menyakitkan untuk ditayangkan. "Ibu juga nggak bisa meraung sama pengadilan untuk menangguhkan hukuman Bapak. Sudah sepatutnya yang terbukti bersalah itu dihukum."

"Syaki minta maaf, Bu." Bergetar, ia menangis. "Syaki nggak bisa jadi anak yang membanggakan Ibu. Bukannya membawa Bapak ke mari, Syaki malah mendatangkan musibah ini."

"Ini bukan musibah, Ki. Ketetapan."

Seolah tersayat benda tajam, pria itu menangis bagai menahan nyeri. "Syaki betul-betul minta maaf."

Tina berdesis, matanya tidak kalah dilapisi petala macam kristal yang siap tumpah kapan pun ia memejamkan mata. "Jangan minta maaf terus, Syaki nggak salah."

Raungan itu semakin menggema. Hati Fariz sakit, melebihi hasil keratan pisau. Mengetahui ayahnya akan menjemput maut macam berita terburuk yang pernah ditangkap indera pendengarnya.

"Ibu juga minta maaf, karena Ibu, kamu nggak pernah disayang Bapak." Satu tetes itu sudah menjamah pipinya yang menurun. "Ibu minta maaf karena kamu harus nanggung semua sakit ini, Ki."

"Bu...." Fariz memegang erat tubuh Tina yang ikut berguncang, tersadar sesuatu ia mulai menenangkan dirinya sendiri dari kekalutan. "Pengadilan memberikan waktu untuk menengok Bapak, Ibu mau?"

Menggeleng, meski air mata pertanda duka tapi ia malah melengkungkan senyum gembira. Menipu hati soal perasaan yang sepatutnya dikehendaki. Menolak secara eksternal tapi internal mengharapkan sesuatu yang sesuai imaji dalam otak.

"Bu...." Ia tidak yakin. Menatapi wajah Tina, Fariz kembali teriris. "Atau Ibu mau titip pesan?"

Hening sebentar, pergulatan dalan pikirannya begitu kentara dirasa sang putra. Kemudian ia bersuara, senyumnya belum sirna.

"Ibu hanya titip pesan untuk Bapak, bahwa doa Ibu selalu mengelilingi Bapak."

***

"Fiona, kamu mau duduk di mana? Biar aku buat semua yang kamu mau." Farah memberi ide.

Baru saja menginjakkan kaki ke dalam toko kue yang dikelola Tante Sarah, mereka langsung dapati banyak pengunjung yang hadir.

Niatnya, Farah ingin menghibur sahabatnya setelah kisah kelam ia lontarkan tadi malam. Sangkanya, toko kue tidak seramai ini. Ternyata, ia salah persepsi. Bahkan, Aldy yang sudah tiba sebelum keduanya sudah mulai sibuk melayani.

"Benar?" Fiona masih melihat sekeliling. "Gimana, ya. Aku bingung mau duduk di dalam apa luar. Ini bagus banget."

Saat itu pula Aldy melewati keduanya yang masih berdiri tidak jauh dari pintu masuk. Bagian depan tubuhnya dibalut apron, macam benduan yang bekerja paruh waktu. Ia berdiri di antara keduanya.

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang