Bab Delapan

1.1K 83 9
                                    

BANGUN dari tidur, Fariz rasa sudah tidak ada asa di dalam dirinya. Berlalu dua hari tanpa kebiasaannya sebagai dosen membuatnya bosan. Kembali mengambil tugas konsultan hukum pun minim partner.

Dua hari pula ia meninggalkan rasanya terhadap gadis yang berhasil memenangkan tahta. Berat melalui hari terakhir mereka. Bagaimana ia menahan diri melihat Fiona diperlakukan tidak baik oleh teman-temannya, itu bukan urusan Fariz seharusnya tapi yang terjadi kemudian adalah ia datang seolah pahlawan.

Tidak.

Ia justru bukan menyelamatkan Fiona, sebaliknya malah semakin membunuh hati.

Hembusan napas keluar, menandakan lega di satu sisi. Lebih baik seperti ini sejak awal. Mereka tidak pernah bertemu untuk menghindari musibah semacam yang sedang menimpa keduanya sekarang.

Ragu pun mulai mendera. Jika memang Fariz menyentuh Fiona, itu artinya sekarang ini ia lari dari tanggung jawab. Bila sampai gadis itu mengandung anak dalam rahimnya yang kemudian akan menyebutnya ayah di hari mendatang, Fariz akan mengutuk diri sendiri. Besar tanpa ayah pasti bukan keinginan semua arek. Pria itu menggeleng. Kalau hal itu benar terjadi, sakit jiwa akan mendera Fariz segera mungkin.

Ini harus diselesaikan.

***

Tina terkejut bukan main mendapati kehadiran anak semata wayangnya lagi--ke dua kali. Wanita itu lebih tercengang begitu mendengar cerita yang dilontarkan putranya.

"Syaki diberhentikan, Bu."

Mencoba tenang, karena posisi Tina sebagai pendengar. "Syaki sudah coba konfirmasi sama rektor kalau sebenarnya Syaki juga nggak tau apa-apa?"

Fariz mengangguk. Di hadapan sang ibu, ia menundukkan kepala, tidak berani bertatapan muka dengan dirinya yang sekarang. Yang menyentuh putri orang dan pecundang kehilangan pekerjaan.

"Syaki minta maaf, Bu. Insya Allah, Syaki akan cari pekerjaan lain selain konsultan."

"Kalau memang belum ada, kamu jangan maksa, Ki. Jalani dulu saja yang sekarang." Tina mengulas senyum, tangannya tidak lepas untuk mengelus bahu tegap Fariz.

"Tapi kalau Syaki nggak cari pekerjaan lain yang pasti, Syaki nggak bisa ngasih Ibu uang lagi."

Bukannya menjawab, Tina semakin melebarkan lengkungannya. "Kamu nggak perlu khawatir sama Ibu, rezeki Ibu mah ada aja, insya Allah."

"Syaki tetap bakal berusaha, Bu." Tidak kuat lagi menghadapi ujian, Fariz terlihat lemah di mata sang ibu, ia menangis. Dalam keadaan seperti ini, sekarang di pandangan Tina ia tetap menjadi putra kecilnya.

"Boleh usaha, ingat, jangan maksa." Mengalihkan topik, wanita itu bertanya perlahan. "Terus, gimana? Keluarga perempuan sudah datang?"

Seketika tangis Fariz berhenti, mengikut tubuhnya yang menegang. "Syaki nggak menerimanya."

"Kenapa?" Mengawang suara Tina, tidak menyangka sang anak akan menolak untuk bertanggung jawab. Meski perlahan mulai naik amarah, wanita itu berusaha menahan. "Syaki nggak mau nurut sama Ibu lagi, ya?"

Segera Fariz menggeleng. Kepam seketika langsung mengikatnya dengan erat hanya dengan melihat raut kecewa Tina. Bukan. Kalau semudah menikahi saja Fariz akan mengambil kesempatan itu. Ia tidak mau menikahi gadis hanya karena merasa tanggung jawab. Komitmen menikah tidak pakai alasan konyol dan mendasar macam itu. Yang ada di pertengahan nanti mereka bersibak. Tentu pernikahan seumur jagung tidak diharapkan setiap pasangan mana pun.

"Syaki sudah dengar apa yang Ibu suruh beberapa pekan lalu, kenapa Syaki tetap nggak melakukannya?"

"Nikah bukan soal bertanggung jawab 'kan, Bu?" Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan yang ingin ia harapkan afirmasi dari sang ibu.

Tina mengangguk, senyumnya tidak sirna walau kecewa bermukim pada mata. "Memang bukan soal bertanggung jawab, lebih dari itu. Tapi bukan berarti Syaki merasa tidak siap, malah menunda, bahkan menolak ajakan. Pikirkan lagi ke depannya. Mungkin saja gadis itu menerima hukuman seorang diri, Allah membuat Syaki terselamatkan dan menimpakan semuanya pada dia. Apa Syaki nggak kasihan?"

Diam. Pria itu tidak pernah bermakrifat sampai sana. Terlalu fokus mencari tahu siapa pelaku dan menimpakan sementara kesalahan pada Fiona sampai Fariz lupa bahwa hukuman selalu menanti mereka. Entah siapa yang akan dapat. Jika saja sekarang ia masih bebas, besar kemungkinan apa yang diujarkan oleh Tina ada benarnya.

Melihat kebungkaman Fariz, Tina menghela napas. "Belum lagi dia perempuan, apa kamu nggak merasa jiwa pria kamu tersentil? Pada hakikatnya kaum adam diamanahkan dengan rasa tanggung jawab, Ibu tanya, rasa itu hilang ke mana?"

Fariz masih diam, tidak menjawab tapi ia mendengarkan dengan saksama perkataan Tina.

"Sekarang Ibu biarkan Syaki berpikir dengan adil. Mau tetap menjunjung keegoisan kamu atau mengejar kembali apa yang hilang? Tetapkan pilihan saat hati melapang. Singkirkan dulu dendam, Ki."

"Iya, Bu." Bicara dengan sang ibu, membuka ainnya terhadap sesuatu yang selama ini ia tampik. Sesadarnya ia, membuat kenyerian langsung menjalar pada dada. Benaknya memutar kembali kejadian saat ia dan Fiona terakhir bertemu.

Gadis itu.

Berulang kali usaha yang ia tunjukkan padanya, tetap Fariz teguh untuk bersikap acuh. Meninggalkan Fiona dalam lautan cua--mungkin. Upaya yang dilakukan gadis itu seolah tak ada harga dalam pandangannya. Sampai langkah kecil Fiona berusaha menggapai, konklusi pun dirinya gagal. Tidak berhasil mencapai Fariz yang ada Fiona diikat interaksi cendala.

Lebih dari itu, bukan hanya menciptakan luka samar, Fariz masih menjadi pria brengsek saat melihat Fiona sudah ditampar dua kali, ia bergeming di posisi, tidak berniat menghampiri.

Memori-memori itu seolah menjadi penghukumnya dengan keji. Tidak mau memikirkan lagi, Fariz sampai menunduk, meremas kepala dengan kedua tangan. Diam-diam ia menangis, air matanya tumpah ruah.

Seketika ia berharap sesuatu yang mustahil. Agar masa memutar diri, kembali pada kejadian waktu itu. Fariz harap bisa menebus di hari yang sama, hanya saja, pada kenyataan, hal itu menjadi khayalan semata.

"Ibu harap gadis itu nggak keburu pergi. Takut-takut diboyong sama keluarganya karena fakta sudah bukan perawan lagi."

Seolah petir di siang bolong, Fariz mendongakkan tengkoraknya, masih dengan arus tangisan menempel di kulit wajah, pria itu terkejut bukan main mendengar suara Tina.

Kesadarannya balik, ia harus segera kembali sebelum semuanya terlambat. Sedahulu Fiona menerima kesakitan hukuman mereka.

Tidak.

Fariz tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Bergegas mungkin ia memacu langkah menuju transportasinya yang diparkir di ruko depan gang rumah sang ibu.

Sepeninggal Fariz, Tina mengulum senyum lega. Setidaknya telinga sang putra masih berfungsi dengan baik. Menangkap lalu menyalurkan pada otak. Bukan malah masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.

Mengiring kepergian Fariz lantas Tina sudah memasuki diri ke dalam rumah. Di sudut mata, ia menangkap sesuatu putih yang sempat dilupakannya karena kedatangan Fariz.

Tangannya meraih warkat, masih dengan getaran tidak percaya. Mata yang perlahan kehilangan fokus itu kembali membaca secara perlahan, kemudian ia larut dalam kesedihan.

Jiwanya perlahan kabur dari raga. Entah kapan waktu yang tepat, intinya Tina tidak bisa lama-lama menjejakkan kaki di bentala ini. Mengingat sang putra, ia rasa berat dalam dada.

Pamit yang seharusnya ia lontarkan, mungkin menjadi simfoni kengerian bagi Fariz. Tina tahu betapa anak itu menyayanginya, pun kebalikan. Wanita itu hanya menaruh semua harapan pada Fariz sejak Agus mulai mematahkannya.

Dan kini, ia harus pergi?

Setelah semua hal berat ia lalui bersama lentera berwujud manusia. Setega ini kenyataan merampas rasa bahagia. Mau tidak mau, lebih baik Tina merahasiakan.

Biar saja berita kematiannya nanti terjadi secara alamiah--dalam indra pendengar Fariz mau pun Agus--bukan karena keduanya tahu bahwa Tina tidak sadar memelihara tumor otak yang semakin besar semakin ganas.

*****
• bertalian •

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang