Bab Sembilan

1.1K 82 1
                                    

TANGAN bergerak aktif melipat baju lantas memindahkan ke dalam koper. Berat meninggalkan tanah air hanya karena penebusan dosa, bukan atas dasar keinginannya. Bisa jadi juga sampai sana, ia dijodohkan oleh orang yang bahkan kedudukannya tidak setara dengan Fariz di dalam hati.

Napas Fiona berhembus lelah, kalau saja ini merupakan intrik, ia bisa berkilah. Malangnya, gadis itu saja tidak tahu apa betul dirinya menghabiskan malam dengan sang dosen.

Sempat mengajukan tes keperawanan pada kedua orang tua, sudah terlambat, mereka kecewa dan akan menampik semuanya. Percuma saja, ia tetap akan diboyong ke Arab dengan alasan mendidik tapi Fiona tahu bahwa dirinya akan dijebloskan ke dalam kubang hukuman.

Walau tangan berkutat, pikiran tidak menjejak. Ia terlalu sibuk dengan benak hingga sepasang tangan memeluknya dari belakang.

"Mudra minta maaf." Seketika isak tangis terdengar bermuatan. Ada banyak emosi yang diwakilkan tetesan pun tumpah.

Meski ingin tersengut pula, Fiona sekuat mungkin menahan. Salah satu lengannya naik untuk menenangkan sang ibu. "Nggak perlu minta maaf, Mudra. Justru aku yang seharusnya bilang itu. Aku udah mempermalukan marga kita."

Mendadak tubuh gadis itu menegang, bergelut antara pemikiran yang kacau dengan penahanan emosi membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Inginnya kebal, ia justru menjadi pengecut lagi yang berteman dengan air mata.

"Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk Buya dan Mudra. Aku nggak bisa membayangkan kalau keberkahan dari orang tua dicabut. Mohon jangan murka, supaya aku diridai oleh Allah." Awaknya memutar, lantas sudah tenggelam dalam kehangatan yang selalu sampai ke kalbu. Menenangkan gejolak perasaan yang bahkan sudah tidak mampu lagi Fiona jabarkan pakai kata-kata.

Ini terlalu rumit.

***

"Sampai sana langsung datangi Ammu Ameer. Dia akan membawamu ke pondok sekitar seratus meter dari rumah keluarga besar. Sampai waktu yang sudah ditetapkan, jangan mencoba untuk kabur."

"Iya, Buya." Kendati sudah tidak ada linangan lagi, tetap saja Fiona rasa jantungnya terkerat.

Tidak.

Sisi lain di dalam dirinya mencoba menenangkan. Lagi pula hukuman dunia tidak sebanding dengan akhirat. Biar sendirinya tidak mengetahui jenis hukuman apa yang akan ditanggungnya. Kalau pun rajam, ia berusaha ikhlas. Setidaknya sisa ihwal tidak dipakai untuk memupuk keberanganNya.

"Dan Buya sudah mengurus kuliahmu, besok kau bisa pergi tanpa perlu memikirkannya."

Lagi, Fiona menurut saja. Tidak ada celah lagi untuk gadis malang macamnya membela diri. Semua kesalahan mutlak memang jatuh pada dirinya. Ia tidak mau berkilah. Toh, seharusnya ia lebih berhati-hati untuk tidak ikut campur dalam masalah orang.

Mengingat hal itu, pikiran Fiona membayang pada trio gadis yang sempat mengintimidasinya. Ada apa dengan Giselle, Cantika dan Tania, mereka seperti merabuk benci pada mata ketika beradu pandang dengannya. Melabrak, membentak malah sampai menampar.

Gadis itu seketika merinding, tidak mau lagi berada pada posisi seperti kemarin. Benar-benar membuatnya seperti pecundang kelas kakap. Bahkan menyokong harga diri di hadapan semua mahasiswa saja, Fiona tidak bisa.

Berusaha lupa, bagaimana pun ia berhasil melewati hari itu. Sekarang tinggal memikirkan ke depannya. Sesuatu yang lebih besar dari kemarin bersiap menyambutnya secepat mungkin.

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang