Bab Dua Dua

853 66 15
                                    

"HANYA tinggal menunggu sidang selanjutnya?" Fariz memastikan, mata tidak lepas membaca dokumen penting yang kertasnya mulai kusut karena terlalu sering dibuka.

"Iya, Bang, mungkin sidang selanjutnya sudah masuk keputusan hakim." Zachary tersenyum lebar. "Makasih banyak, ya, Bang. Tanpa Abang, saya nggak tahu gimana bisa menyelesaikan kasus kematian mertua saya."

Seharusnya Fariz merasa tersindir dengan kalimat pemuda di hadapannya. Seolah sang ayah memang orang terjahat. Walau pada kenyatannya seperti itu. Alih-alih, Fariz ikut bahagia bila orang mampu menggapai rasa gembira karenanya. "Sudah sebulan, nggak perlu bilang makasih begitu. Kamu sadar kalau kamu udah ngucapin itu lebih dari seratus kali? Kalau saya nggak salah."

Mendengarnya, Zachary tergelak. Ia mengeratkan rangkulannya pada sang istri. Mereka sedang duduk di ruang tengah apartemen Zachary. Sejak sidang pertama dimulai, Arfan dan Zeenda sudah angkat tangan. Merasa tidak perlu ikut campur lebih dalam karena permasalahan hanya melibatkan Zachary, Talina dan Fariz. Alhasil, sudah lebih dari sebulan ini pria yang menjabat sebagai pengacara itu cuma berkoneksi dengan klien sebenarnya.

"Bang, omong-omong saya mau minta maaf lagi, ya. Kadang ngerasa dendam sama Pak Agus tapi di sisi lain saya juga paham dengan perasaan Abang. Lagian perasaan saya ini nggak benar adanya." Helaan napas itu terdengar berat, seolah ia tidak mau mengusut hal ini tapi merasa perlu untuk diangkat.

Fariz tersenyum. "Saya sudah bilang, kan. Sudah, kamu nggak perlu sungkan. Lagi pula ayah saya bersalah, karena mengancam orang lain melakukan tindak kejahatan, bahkan sampai merenggang nyawa karenanya. Saya yang harusnya minta maaf, perwakilan dari ayah saya untuk kamu, Talina."

"Kematian itu kodrat Allah, Bang." Tarikan bibir itu terasa mengganjal di satu sisi, meski di sisi lain mampu menenangkan. "Saya nggak pernah menyalahkan takdir. Ilmu saya juga masih rendah untuk menghakimi Allah atas semuanya. Setidaknya saya berharap kematian Enyak bukan termasuk dalam kategori bunuh diri."

"Kita nggak bisa mendefinisikan secara individu. Saya bantu doa untuk keselamatan beliau, di alam kubur mau pun akhirat. Saya tahu Allah Maha Baik, sesuai perkataanmu, ini sudah kodratnya. Segala hal yang Dia lakukan pasti terbaik. Kamu nggak perlu meratapi, ya."

"Syukron katsiron, Bang." Talina bersyukur. Sepeninggal sang ibu, Dia menghadirkan orang-orang baru yang mampu membuatnya merasa Tuhan mencintainya.

Sedangkan dari sudut pandang Fariz, berkali-kali ia menggemakan ujaran sang istri yang memiliki dampak tenang. Ia harus kuat. Seperti yang ia katakan tadi, semua ini sudah kodratnya. Biarkan Tuhan berencana, sedang kita sebagai hamba hanya tinggal mengikuti apa perintahNya, karena Tuhan adalah pemilik sebaik-baik skenario.

***

"Buya, sudah lama menunggu?" Fariz menghampiri mertuanya yang sudah duduk di salah satu meja.

Tadi, tiba-tiba saja saat hendak pulang ke rumah, ia dihubungi Yousef, beliau berencana untuk memiliki janji temu dengannya. Alhasil, sebagai menantu yang baik, Fariz menerima ajakan. Meski awalnya heran karena tempat yang disetujui Yousef adalah restoran.

"Tidak begitu lama. Duduk!"

Mengikuti saja apa kata mertuanya, Fariz langsung mendaratkan bokong di hadapan Yousef. "Mudra nggak ikut, Buya?"

Kepala Yousef menggeleng. "Saya langsung saja ke inti, ya."

Firasat Fariz tidak enak. Mendadak Yousef ingin bertemu, beliau datang seorang diri, lalu memulai percakapan dengan kaku. Ini tanda-tanda hal buruk akan terjadi.

"Apa benar Fiona keguguran karena Ayahmu?"

Benar saja, epilepsi sepertinya sudah menjadi penyakit andalan bagi tubuh Fariz. Ia menatap tidak percaya pada Yousef yang mulai menyunggingkan senyum ganjil.

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang