Bab Dua Puluh

960 55 1
                                    

LAGI-LAGI, tidak ada yang bisa membuatnya balik pada kesadaran. Entah sejak kapan pastinya, Fariz rasa epilepsi menyerang diri dengan begitu kuat hingga tiada hari tanpa kejang disebabkan rasa terkejut.

"Maaf, Bang, saya nggak tahu kalau pelaku utamanya ayah Abang sendiri." Suara Zachary menyadarkannya kemudian.

Mata Fariz menatap lawan bicaranya, begitu ia menoleh, ia mendapati Arfan, Zeenda dan Talina--baru diajak untuk diskusi--memandang khawatir karena perubahan dirinya. "Nggak perlu minta maaf. Walau pelaku ayah saya, tetap saya akan berusaha memenangkan kasus ini."

"Tapi, Bang--"

"Kalau Fariz sudah berkata begitu, kamu nggak perlu ngerasa nggak enak lagi, Ar." Arfan menengahi.

"Jadi sidang mulai Ahad depan?" Fariz memastikan.

Anggukan Zachary memantapkan dirinya untuk bersikap profesional, bukan karena Agus ayahnya ia lantas mundur. "Bang, syukron katsiron udah mau bantu, ya."

"Nggak perlu sungkan." Senyumnya mengembang.

"Bang Fariz, terima kasih banyak." Setelah memilih bungkam, gadis bernama Talina yang jelas menjadi klien pastinya, mulai bersuara.

"Terima kasih kembali." Fariz semakin melebarkan senyum. Jauh di lubuk hatinya, ia sedang tidak dalam posisi baik-baik saja. Sesuatu bergulat, terdapat badai yang menjerumuskan hanya sekali hantam. Ia kelimpungan arah, tidak tahu mana pastinya yang jelas apa yang sedang berdiri di depan, sudah pasti menjadi tujuan akhir.

***

Tangan Fiona mengelus pundak tegang suaminya, ia memberikan lengkungan yang mampu menenangkan siapa pun.

"Apa aku anak durhaka?"

"Nggak, Kak. Jangan berpikir buruk dulu."

"Tapi aku takut salah ambil jalan, Fi."

"Lihat!" Tangan lembutnya menangkup wajah Fariz untuk mendongak menatap lurus pada pandangan miliknya. "Kalau Kakak salah jalan, kita bisa balik ke jalan yang benar bareng-bareng. Kakak nggak sendiri, ada aku di sini."

"Aku takut, Fi." Wajahnya tenggelam dalam pangkuan sang istri yang duduk di tepi ranjang, sedang dirinya bersimpuh di hadapan Fiona. "Aku benar-benar takut."

"Sudah, Kak." Rambut lembutnya dielus pelan oleh istrinya. "Aku udah bilang, jangan berpikir buruk dulu."

Masalah hidup bukan datang dari luar saja, bahkan internal, Dia sudah menyiapkan. Seperti perang batin yang bergejolak dalam diri Fariz sekarang ini. Pasti walau ia sudah memiliki tujuan yang jelas, tentunya bila dihadapkan pada fakta, ia kocar-kacir mencari alasan untuk menghindar.

Ia harus membela orang lain saat sang ayah terkena dakwa. Hati memang tidak bisa dibohongi. Benci sudah terpupuk, kalau dasarnya sudah sayang, jelas akan ambruk.

"Kakak pasti bisa melewati ini, aku yakin. Kalau aku aja yakin, Kakak juga harus yakin dengan diri Kakak sendiri." Suara istrinya memang pegangan paling kuat untuk kembali bangkit setelah terpuruk.

"Bapak dakwaannya banyak sekali kalau memang betul terseret ke meja hijau. Aku cuma takut hukum mati menanti Bapak." Tak kuat berimajinasi, air matanya menggenang di pelupuk. Keadilan menjadi tanggung jawabnya juga. Namun, Fariz rasa lengah ketika mengetahui keseimbangan itu mungkin akan menghancurkan posisi yang lain.

"Kak, jangan begini, dong." Kecupan itu ia layangkan dengan pelan pada kening suaminya.

"Ahad aku udah mulai sidang, aku nggak--"

Desisan itu menghentikan segala keraguan dalam kalbu. "Kakak bisa. Percaya."

"Fiona...."

"Jangan berpikir buruk dulu. Berdoa sama Allah, semoga dengan jalan ini Bapak dibuka pintu hidayahnya." Masih setia mengelus kepala suaminya. "Sudah jangan berpikiran buruk dulu. Kakak belum makan, loh."

"Aku nggak lapar." Kepala Fariz kembali tenggelam.

Fiona menghela napas. Ini yang tidak ia sukai dari sifat manja Fariz, kekanakkannya itu betul-betul berada di taraf frustasi. "Nggak lapar itu maklumat dari otak. Perut Kakak tetap butuh bahan untuk bekerja."

"Aku nggak mau makan."

"Kalau nggak mau makan, nanti Ahad Kakak kurang asupan, malu sama hakim."

"Fiona...."

"Mau disuapi?"

Diam tapi pandangan mata yang berpendar lebar memberi arti setuju akan ajakan Fiona. Seketika, gadis itu terkekeh geli. Sebelum bangkit menyiapkan makanan, ia beri lagi kening suaminya sebuah kecupan. Fiona berharap, sapuan bibirnya mampu menyapu banyaknya pikiran yang berlandas dalam kepala Fariz.

Jelas, apa yang mendera suaminya, ia juga merasakan. Bukan keinginan Fariz bisa berhadapan dalam kondisi yang berat seperti sekarang. Namun, semua sudah ditulis jelas bagaimana kejadian yang hadir di setiap harinya. Yang jelas, Dia sudah menyiapkan hikmah di hari berikutnya.

***

"Kakak berangkat naik apa?"

"Zachary akan jemput sama teman kepolisiannya sebentar lagi."

Ia tidak kembali bersuara, melainkan mulai bermain dengan bahasa tubuh. Lantas, langkah kakinya mendekati sang suami. Ia berjinjit untuk memeluk. "Semangat, ya. Aku doakan hari ini berjalan lancar."

"Aamiin." Fariz agak membungkukkan tubuhnya, membalas rengkuhan Fiona. Dalam beberapa detik saja mereka bergeming di posisi masing-masing. Pun Fariz, seolah ia sedang menyambungkan pemulihan energi yang terpasang dalam diri Fiona. Dirinya tidak mau lepas. Hingga suara deru mobil mendekat, mulai menyadarkan mereka.

Fariz melepas diri dengan kecewa. Tangannya diambil Fiona, gadis itu mencium punggungnya sebagai bentuk hormat.

"Hati-hati di jalan, jangan berhenti untuk zikir, minta bantuan Allah juga supaya Kakak dikuatkan."

"Iya, Sayang, syukron pesan-pesannya."

"Afwan."

"Aku pergi." Langkah kakinya diiringi sang istri yang tidak berhenti melambai. Begitu tubuh mulai masuk ke dalam mobil, Fariz tahu ia memang harus memperkokoh diri, tidak boleh lengah.

Demikian juga saat Fariz memasuki gedung pengadilan negeri. Tatapan menusuk mulai menyambutnya, memberi arti bahwa sang pemilik betul-betul benci dengan kehadiran Fariz.

Pria itu tidak mau ambil pusing, ia bersiap di posisinya. Duduk bersampingan dengan Talina.

"Selamat pagi, selamat datang. Dipersilahkan untuk awak media mengambil gambar sebelum sidang dimulai. Kami beri waktu selama lima menit." Hakim ketua mulai bersuara, memberi izin untuk beberapa wartawan mengabadikan momen yang membuat mereka langsung liar karena peseran uang hadir setelahnya.

Fariz diam, menatap lurus ke depan. Dari ekor mata, ia masih menangkap bidikan laser membunuh, bersumber dari sang ayah yang duduk tidak jauh dari posisinya.

"Bang, nggak apa-apa?" Suara pelan Talina menyadari Fariz.

"Ah, saya nggak apa-apa. Omong-omong, kamu sudah tahu 'kan apa yang harus kamu katakan nanti kalau hakim meminta penjelasan dari sudut pandang kamu?"

"Bang Zachary sudah memberi tahu."

Fariz manggut-manggut. "Gunakan bahasa yang nggak bermakna ambigu. Jelaskan secara detail tapi bukan berarti menjatuhkan. Tetap, bagaimana pun keputusannya nanti, saya tahu kasus ini akan menang di tangan kamu."

Talina mengerutkan kening, ia tidak paham. "Kok bisa menang di saya?"

Pria itu hanya diam, tidak menjawab karena hakim kembali bersuara. Ya. Ia tahu pasti bahwa kasus ini akan menang di tangan Talina.

Karena apa?

Karena Agus tidak akan didakwa satu pasal saja.

*****
• bertalian •

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang