Bab Dua Lima

877 51 7
                                    

SADAR dari tidur panjangnya, Fiona menerjapkan mata. Ia memandangi langit-langit yang menyilaukan karena langsung menuju cahaya lampu di atas. Gadis itu masih belum bisa menerka kejadian apa yang baru saja menimpanya, hingga pergelangan tangan digerakkan, ia langsung meringis.

Melihat sebentar, ia dapati luka yang kemarin dibuat olehnya--setan pengambil alih jiwa--sudah ditutup perban. Tepat di samping tangan terkulai, ada Farah tengah pulas tertidur. Fiona melihat jejak air mata mengering di pipi sahabatnya. Ia terenyuh.

Kembali, menatap langit sepertinya mampu mengalihkan asistensi. Ia menghela napas melalui regulator oksigen. Ainnya langsung dipenuhi cairan. Memejam, justru membuat ia menangis.

Ia bodoh.

Bisa-bisanya iman yang sudah ia pupuk mampu diambil alih oleh roh jahat hingga ia menyakiti dirinya sendiri karena hal remeh. Tentu, Tuhan akan murka dengannya.

Terlebih hal remeh itu adalah ujian yang diberikan olehNya. Apa itu tandanya ia termasuk ke dalam orang-orang merugi karena menyerah pada keadaan?

Tuhan tahu yang terbaik, Dia tidak mungkin memberikan sesuatu tanpa ada makna. Segala perkaranya, Dia tahu. Sekali pun terkecil dalam kalbu.

"Fiona?" Suara lirih menyentaknya hingga kembali membuka mata. "Kamu nangis?"

Ia tidak menjawab. Hanya sorot mata penuh luka mewakilkan segala kata yang terbendung dalam dada.

"Nggak perlu disembunyiin." Tangannya mengelus pelan bahu sahabatnya yang terbaring di atas ranjang rumah sakit.

***

"Pak, Fariz minta ma--"

"Jangan datang di depanku hanya untuk bicara omong kosong." Kalimat sarkas sang ayah malah menambah rasa bersalah dalam dadanya.

"Pak, mohon...." Ia berlutut di hadapan Agus dengan harapan penuh. Setidaknya ia ingin memiliki riwayat hubungan yang baik dengan ayahnya sebelum kehilangan.

"Aku betul-betul kecewa denganmu, Fariz. Kau bisa sekali membela orang yang tidak punya hubungan darah denganmu. Sedangkan aku? Aku ayahmu, kau malah membuatku mencapai kematian. Tidak heran, sepertinya memang mimpimu sejak awal."

"Bapak kecewa? Terus Fariz sama Ibu bagaimana? Apa Bapak pikir kami nggak punya perasaan sampai Bapak tega mencampakkan kami?" Masih menunduk, ia lanjutkan kembali isi hatinya. "Fariz berjuang sama Ibu. Menerima sindiran dari keluarga Belanda tentang Bapak dan berterima kasihlah pada Ibu, karena beliau membela Bapak di hadapan yang lain. Bapak bayangkan, Ibu sudah nggak punya muka lagi sama mereka."

"Kau menyalahkanku atas hal itu? Yang bodoh adalah Tina, aku tidak butuh pembelaan darinya."

"Istri mana yang nggak membela suaminya sendiri, Pak?"

Agus diam.

"Setiap waktunya, Ibu cuma memikirkan kita berdua. Bahkan, Bapak punya pengaruh besar sama beliau. Satu-satunya yang hadir dalam pikiran Ibu lebih sering, ya, Bapak. Hal sepele macam Bapak sudah makan atau belum, bagaimana kabar Bapak, apa Bapak bahagia. Itu, itu yang selalu Ibu tanyakan pada dirinya sendiri saat mau tidur. Ibu malah sudah jarang memikirkan dirinya sejak Bapak pergi dan nggak pernah pulang."

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang