Bab Empat Belas

1K 69 11
                                    

NAPAS masih putus-putus, pandangan matanya menyendu melihat atap kamar. Menoleh ke samping, istrinya yang bersimbah peluh sudah tenggelam pada alam bawah sadar, ia menghirup udara secara teratur, memberi arti bahwa tidurnya pulas.

Kembali mengalihkan kepala, Fariz menutup ainnya yang terasa berat, teringat satu fakta baru yang ia ketahui. Pikirannya bercabang, hingga pria itu lupa untuk menyusul istrinya yang sudah berkelana di alam mimpi. Bangkit, Fariz meraih bajunya yang berserakan, ia memakai lantas langsung pergi ke kamar mandi, membersihkan diri dari sisa ritual yang baru saja ia jalani dengan istrinya.

Menikmati pancuran air hangat yang menjamah kulit dengan cepat, Fariz terpejam, setiap tetes itu menyamarkan air mata sebab emosi yang membeludak. Dirinya sedang kacau saat ini dan setan memang paling tau waktu terbaik untuk menggoda manusia. Seperti yang pernah dilakukannya, ia meninju dinding. Berharap hal tersebut dapat menetralkan perasaannya yang tak karuan ketika mengetahui bahwa istrinya masih perawan.

Itu artinya mereka tidak benar-benar berhubungan saat itu. Namun, alam seolah ahli magis yang mampu memanipulasi hingga akhirnya Fariz sadar bahwa ia terlanjur tenggelam dalam keputusan yang sudah diperbuat waktu awal.

Selesai mandi, Fariz ke luar sudah dengan pakaian lengkap. Ia melihat sekilas pada Fiona, minatnya mendadak turun. Akhirnya ia memutuskan untuk tidur di ruang tamu.

***

Zulkifli mendesah napas lega. Semua berjalan baik, geng Cihuy Squad beserta ketuanya--Giselle--sudah mengakui perbuatannya terhadap Fiona. Itu yang terpenting.


"Lain kali pikir ulang kalau mau mempermainkan gue." Sebelum pergi, Zulkifli sempatkan dulu memberi senyum, melihat beberapa anggota pria jatuh terkapar dan yang wanita beringsut ketakutan. "Makasih udah mau jujur."

Kepergian pemuda itu masih meninggalkan rasa ngeri yang menjalar pada diri masing-masing anggota. Bahkan sejak Giselle tahu bahwa Hidayat membongkar rencana dan menjatuhkannya di hadapan Zulkifli, gadis itu sudah tidak peduli karena ancaman yang dirasa Hidayat kini menimpanya.

"Lo salah ambil mangsa." Tania mengusap kedua bahunya, masih berdiri rambut halus di sekitar tangan melihat sisi gelap Zulkifli lepas di depan mereka.

Hal itu pun dibenarkan semua anggota yang berjumlah sembilan orang. Empat pria masih berbaring lemah dengan wajah babak belur--pun Hidayat yang terkena bala lagi, sedangkan sisanya yang merupakan wanita merasa aura pemuda itu belum pergi sepenuhnya.

"Gue mau pindah." Giselle sudah memutuskan. Ia bangkit dengan lemas, rasanya martabat yang sudah ia agungkan dari kemarin seketika pupus hanya karena pemuda yang mungkin tidak ada bandingan dengannya.

"Terus Cihuy gimana?" Cantika memandang heran punggung Giselle yang perlahan menjauh.

Mendengarnya, gadis itu menghela napas. "Bubar. Gue udah terlanjur malu."

"Lo tumben amat? Biasanya nggak cepet nyerah kayak gini." Walau tubuh mulai terasa remuk, Yoga bersuara. Ia tidak ingin geng ini berakhir hanya karena satu pemuda. Ingat, satu pemuda. Mereka berjumlah lebih dari lima tapi sudah kalah macam pecundang.

Giselle menghiraukan dan tetap melanjutkan langkah. Ia mengusap tengkuk yang merinding, teringat wajah suram Zulkifli disertai matanya yang menghunus tajam, membuat sisi dalam diri yang dulu dimanja hingga kuat tak lagi ada, menciut sudah. Ia sudah tidak mau lagi berurusan dengan pemuda itu, keputusannya bulat. Dengan pindah kuliah, pastinya ia tidak akan pernah dihadapkan pada Zulkifli--lagi.

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang