Bab Tiga Belas

1K 79 0
                                    

"TERUS gimana?" Tiffany masih senantiasa mendengarkan cerita anak semata wayangnya. Ia sesekali tersenyum lebar sembari dalam hati bertanya, mana wujud Fiona yang tegar kemarin-kemarin. Rasanya ia sedang dihadapkan gadis kecil yang bersemangat dalam melisankan kisahnya.

"Mudra tau nggak, Ibu itu turunan Indonesia sama Belanda tau. Pantes aja Kak Fariz mukanya kayak bukan Indonesia tulen, ya. Bentuk rahangnya orang Eropa punya itu." Berapi-api begitu kentara dalam pandangan matanya. Seolah ia tengah membicarakan dewa ketampanan yang beberapa orang yakini keberadaannya.

"Ih, sok tau." Gelak tawa Tiffany melambung, melihat antusiasme Fiona.

"Bener, Mudra. Liat detail aja muka Kak Fariz." Berhenti sejenak. "Tapi aku liat foto SMA Kak Fariz itu beda banget sama sekarang. Dulu keliatan Indonesianya. Memang ngaruh, Mudra?"

"Bisa jadi. Ada kalangan orang yang foto masa kecil sama besarnya itu beda jauh. Biasa didukung faktor yang kita sebut masa pubertas."

"Kalau aku, menurut Mudra beda apa nggak?"

"Eh, kamu 'kan tau gimana kamu waktu kecil."

"Minta pendapat." Bibirnya maju karena sang ibu tak menangkap maksud.

Terkekeh sebentar. "Menurut Mudra, kamu dulu mirip banget sama Abuya, nggak nyangka perlahan-lahan berubah."

"Berubah gimana?"

"Pastinya jadi cantik kayak Mudra." Suara berat langsung menginterupsi percakapan antara ibu dan anak. Pria itu berjalan pelan menghampiri. "Cerita kok nggak bareng Buya?"

"Buya sibuk di kamar, sih." Fiona mencebik. Niatnya hari ini ia akan menghabiskan hari dengan kedua orang tua, lalu mampir sebentar ke rumah Zulkifli. Taunya begitu tiba, sang ayah larut dalam mimpi, sedangkan sang sahabat katanya masih pergi dan belum kembali. Alhasil, Fiona habiskan setengah waktunya selama di rumah dengan sang ibu.

"Kapan lagi bisa tidur siang." Perlahan tawa menyeruak. Membuat sekeliling terasa hangat karena biasanya Yousef akan berdiri tegak tanpa gentar, seolah tak bisa disentuh apa pun.

Senyum Fiona mengembang dengan lebar. Selain hubungannya dengan Fariz yang membaik sejak akad dilontarkan hingga banyak ulama mengulas bahwa kalimat sakral tersebut bisa mengguncangkan rumah Allah, gadis itu juga bersyukur karena tali yang sempat kusut di pertengahan denyut keluarga kecilnya dapat dilicinkan kembali.

***

"Istri mana?" Arfan bersuara saat Zeenda pamit untuk mengurus Ahlan yang buang air. Sedangkan kembarannya, terlihat nyaman di pangkuan sang ayah. Zachary pula izin ke luar untuk menghubungi seseorang.

"Lagi main ke rumah mertua."

Sinyal langsung dikirim otak Arfan mendengar satu nomina. "Ane dateng di waktu yang nggak tepat, ya?"

"Nggak, kok." Fariz menyesap teh miliknya. "Ane seneng malah ente datang ke sini. Terakhir waktu Zeenda masih hamil, sekarang muncul lagi bawa ekor. Parahnya udah berusia lagi."

Mendengar kalimat Fariz yang mengocok perut, Arfan tertawa renyah. "Jadi, kenapa nggak ngundang-ngundang?"

Fariz tidak langsung menjawab, ia diam sebentar. Pada mula saat sang sahabat bertanya mengenai rencana memiliki momongan, ia menahan pembawaan hatinya. Namun begitu mereka berhadapan dan diberi ruang berdua saja, ia rasa ingin berkisah.

"Menghindari kalimat buruk dari orang-orang."

Berteman dengan Fariz membuat Arfan mampu menangkap kalimat yang memiliki makna tersirat macam itu. Ia merasa tak enak, lantas berdeham. "Apa pun, sudah digariskan. Yang ente dapatkan itu qodarullah. Jangan sampai nggak menerima, ya."

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang