Bab Tujuh Belas

966 66 5
                                    

TERSENYUM, Tina menggapai wajah anaknya yang bersimbah peluh karena berlari. "Syaki, kok bisa datang ke sini?"

"Ibu, masih pusing?" Ia menghiraukan pertanyaan Tina. Fariz berhasil meringkas waktu perjalanan antara Bogor-Sukabumi yang biasanya ditempuh dua jam, ia mampu tiba enam puluh menit lebih awal. Didukung dengan jalanan yang lenggang dan caranya mengemudi.

"Ibu nggak apa-apa, Ki. Pusing biasa."

Fariz menggeleng, tidak habis pikir. Mau Tina atau Fiona, keduanya tetap sulit ditebak. "Pusing biasa nggak sampai pingsan, Bu."

Tina tidak tahu, bahwa Fariz menahan kegundahannya sebab dua wanita terkasih sedang jauh dari kata sehat. Pun ia juga meninggalkan Fiona dalam keadaan masih belum pulih.

"Itu bukan pingsan, A' Guntur aja yang suka ngelebihin, Ibu nggak kuat jadi langsung rebahan buat tidur." Gelak tawa Tina terdengar, mengandalkan nama anak tetangganya yang baru saja membantu sebagai tumbal. Dalam hati, Tina meminta maaf karena sudah menarik-narik Guntur, pemuda usia kepala dua yang selalu membantunya selama kesendirian menyapa.

Menghela napas dengan kasar, Fariz tidak lepas menatap wajah ibunya. "Benar nggak apa-apa? Ibu nggak bohong?"

"Nggak mungkin lah, Ki." Tina terkekeh.

"Ibu, tinggal sama Syaki aja, ya. Jadi kalau ada apa-apa Syaki bisa wanti, Bu. Kalau begini, Ibu jadi nggak ada yang perhatiin."

"Pasangan mana pun nggak ada yang mau tinggal sama orang tua atau mertuanya, Ki."

"Jangan mikir hal itu, Bu. Lagian Fiona juga senang banget sama Ibu, sekalian temani dia, Bu. Kadang Syaki suka sibuk kerja."

Tina menggeleng. "Udah, Ibu bisa jaga diri sendiri, kok. Puluhan tahun juga seringnya sendiri. Syaki lagi sibuk kuliah, Syaki mulai kerja, sampai nikah pun. Baru kali ini aja 'kan Ibu tumbang, sebelumnya baik-baik aja."

"Justru karena hal itu, Bu." Fariz bersikeras. "Kalau dari kemarin baik-baik aja tapi mendadak tumbang patut dipertanyakan, takut Ibu sakit apa gitu."

"Ki, percaya sama Ibu, Ibu sehat, kok."

Raut cemas itu tidak luntur dari wajah tampannya. Tak pernah lepas genggaman tangannya mengamit milik sang ibu. "Kalau gitu, biar Syaki ngomong sama Om Dennis ya, Bu, supaya jaga Ibu di sana."

Kepala yang bersandar pada bantal tersebut menggeleng dengan pelan. Anak saja ia tidak mau menyulitkan, apa lagi sampai saudara kandungnya.

"Atuh, Bu, seriusan Syaki khawatir. Setidaknya kalau Ibu nggak mau ngerepotin Syaki, Ibu jangan tinggal di sini juga. Om Dennis baik, pasti mau jaga Ibu."

"Dennis punya keluarganya sendiri, Ki. Nggak apa-apa, Ibu di sini aja udah."

"Bu...." Akhirnya, Fariz pasrah. Ia mendudukkan diri di samping ranjang ibunya. "Atau mau tinggal di rumah utama aja? Biar Syaki antar Ibu kalau Ibu mau."

"Ki, rumah utama bukan hak milik Ibu, nanti apa kata Tante Er kalau Ibu tiba-tiba tinggal di sana?"

"Syaki bakal ngomong sama Tante Er, Bu. Yang penting untuk Ibu dulu."

"Sudahlah." Tina mengalihkan topik. "Fiona nggak ikut?"

Fariz menggeleng sebagai respon. Sadar bahwa ibunya sudah tidak mau membahas lebih jauh mengenai keluarganya. Pun saudari kembarnya itu. "Fiona juga lagi pusing, sama persis seperti Ibu, teguh pada pendirian, kayak punya ikatan batin."

Terkekeh, Tina mencubit pipi anaknya. "Jangan-jangan sebenarnya kamu bukan anak Ibu, Ki."

"Bu, tong bercanda, ah."

Lantas mendengarnya, tawa Tina meledak. "Perlahan bisa menerima?"

"Pastinya, Ibu kasih Syaki pesan kayak gitu, Syaki pasti nurut. Syaki nggak mau ngebantah."

"Slimme jongen." Gerak tangannya teratur, mengelus rambut sang anak. Dalam hati ia terus berharap pada Tuhan, setidaknya berikan lebih banyak memori manis seperti ini hanya bersama anaknya. Agar dalam masa perenggangan nyawa pun ia tetap bisa tersenyum, meninggalkan dunia secara baik.

Tidak ada lagi alasan bagi Tina untuk menolak ide Fariz selain dirinya menghindar dari mulut yang bercakap buruk. Ia tahu waktunya tidak sebentar lagi, maka dari itu, ia memilih untuk menetap. Menyendiri meski sepi. Setidaknya ia jauh dari orang-orang yang berpikiran jelek mengenai dirinya. Walau saudara sendiri.

Belanda tidak seperti Indonesia. Meski darah orang Eropa mengalir dalam nadi, Tina nyaman di sini. Bahkan sejak keputusannya menikahi Agus, yang pasti mendapat pertentangan dari keluarga besar di Den Haag, ia memutuskan untuk mengubah namanya. Meninggalkan segala hal yang berkaitan dengan Negeri Kincir Angin tersebut. Berbeda dengan sang ayah yang memang terjun langsung pada kultur dan budaya Belanda, Tina tidak mau mengikut jejaknya.

Baginya, Indonesia segala keindahan yang ada dalam mata. Tidak spesifik untuk pemandangannya saja, lebih dari itu, Agus--lelaki yang dicintainya berasal dari Nusantara.

"Ik hou van jou, Bu." Kecupan mendarat pada kening Tina. Fariz menatapnya dengan sendu. "Lekas sembuh."

"Aamiin. Trouwens, ik hou ook van jou."

Fariz janji, meski ibunya bersikeras tidak mau mengikuti apa perkataannya, ia pastikan Tina tetap dalam kondisi aman. Jika Tina menolak, pria itu yang akan terus mendatanginya.

***

"Zulkifli sudah menceritakannya. Alhamdulillah, Buya senang sekali tahu fakta ini. Setidaknya pernikahan kalian ada bukan untuk alasan sepele seperti tanggung jawab saja. Kalian perlu komitmen yang lebih kuat dari itu."

Fiona baru saja selesai melaksanakan salat Duha begitu ia dapati ponselnya berdering, ternyata nomor sang ayah menyambungnya. Senang karena satu fakta, ia pastinya menjawab dengan gembira. Pandangannya tidak lepas dari dua garis merah yang sejak kemarin malam menjadi alasannya mesem. Ia tidak sabar menunggu kepulangan Fariz.

"Alhamdulillah. Maaf, Fiona lupa untuk cerita soal itu."

"Lain kali, langsung saja beritahu Buya. Kamu pasti dinanti-nanti, jadi lupa."

Gadis itu terkekeh. "Buya paling paham soal aku."

"Pastinya, kamu anak Buya."

"Oh ya, Buya, ubah jadi panggilan video ya, aku mau menunjukkan sesuatu." Ia tidak merespon keheranan sang ayah, begitu Yousef mengikuti apa arahannya, gadis itu langsung mengambil testpack. "Selamat, sebentar lagi, Buya dan Mudra akan dipanggil Aki Jiddah."

Bahagia?

Pastinya. Tidak ada lagi kalimat yang mampu mendeskripsikan bagaimana buncahan itu menyerang kalbu pria itu semacam Yousef. Sudah mengetahui anaknya tidak betul-betul melakukan dosa besar, kini angin segar dari mana yang didapatinya, mengetahui sang anak tengah mengandung.

Bahkan Yousef tidak menyesali saat memanggil istrinya untuk ikut dalam panggilan video, teriakan nyaring Tiffany langsung menggetarkan gendang telinga.

"Buya dan Mudra tunggu kabar selanjutnya. Akikah harus di sini, ya!"

Kalimat itu langsung merengkuh diri Fiona dengan kuat. Ia tersenyum penuh haru saat mengakhiri panggilan. Bersyukur ke sekian kalinya, ia berhasil melewati ujian yang sempat hadir, sampai ia pada titik ini. Waktu yang tepat bagi dirinya mendapatkan balasan atas semua rasa sabar yang sudah dilakukan.

Pintu terketuk. Menerka, jantungnya langsung berdetak, melebihi kebiasaan hingga Fiona tidak tahu bagaimana menyebut hari ini.

Apa betul ini hari penuh keberuntungan?

Suaminya sudah pulang. Pasti, ia yakin. Karena Fariz bilang akan melakukan perjalanan setelah Subuh dan kini sudah masuk waktu Duha atau pukul delapan pagi.

Tapi begitu pintu ia buka, jantung yang berdentam karena bahagia itu berubah makna, kini dirinya bergetar takut dalam pandangan mata yang tidak pernah ia lupakan sejak pertama menatapnya.

"Assalamu'alaikum, menantuku."

*****
• bertalian •

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang