Bab Dua Tujuh

804 50 9
                                    

MAKRIFAT sentosa itu membuatnya merasa bahagia. Tidak menyangka akan mendapat amanah kembali setelah kejadian saat itu.

"Ya ampun, Fiona, aku ikut senang!" Rangkulan sahabatnya meningkatkan animo dengan begitu cepat.

Sambil mengulas senyum, ada satu pemikiran terdampar. "Sepertinya aku harus pulang."

Seketika langkah keduanya berhenti. Farah menatap ragu. "Tapi--"

"Udah, nggak apa-apa."

"Kamu serius?" Tentunya mengetahui kondisi pernikahan sedang tidak bagus, mungkin akan membawa dampak negatif bagi kehamilan gadis di hadapannya. Sebagai seorang sahabat, pastinya Farah tidak bisa membiarkan Fiona merasa stres.

"Iya, tenang aja. Kurang dari seminggu di sini aja aku udah cukup ngerasa bahagia banget. Saatnya sekarang pulang." Kalimatnya seperti mantra yang langsung meredamkan ketar-ketir dalam diri Farah. "Kamu ikut pulang nggak?"

Ikut pulang?

Ketika sebagian dirinya masih tersangkut pada pria bernama Fazza?

Sepertinya ia tidak bisa. Tidak untuk sekarang. Tidak tahu untuk nanti.

Semalam pria itu izin tidak menemuinya. Ah, rasanya mereka seperti pasangan sah. Nyatanya, belum ada kejelasan dalam hubungan mereka.

Farah pula merasa tidak tahu diri. Bagaimana bisa ia mengklaim Fazza miliknya seorang hanya karena perilaku pria itu padanya?

"Farah?"

"Aku nggak tau."

Lantas Fiona langsung cemberut mendengarnya. Ia ingin sebetulnya Farah ikut pulang, sebagai balasan karena sudah memberikan semua kebahagiaan secara cuma-cuma selama dirinya tinggal di Dubai.

"Tapi antarkan aku ke bandara, loh!" Merajuk, pastinya bawaan janin di dalam perut.

Farah tertawa geli, ia tidak sabar ketika anak kecil itu menyebutnya tante. Ah, membayangkannya saja, Farah sudah gemas tidak keruan.

Penghargaan bagi calon keponakannya, ia mengusulkan untuk jalan-jalan sebentar sebelum pulang ke apartemen. Ia tahu, di balik masalah yang menimpa sahabatnya, Tuhan selalu punya cara untuk menghibur kembali di akhir nanti.

***

Fiona terus memperhatikan Farah yang dari tadi melayaninya seperti biasa, seolah tidak ada apa-apa. Jauh di dalam sana, ia sangat tahu hati sahabatnya itu hancur. Walau pun Fiona belum begitu tahu sejauh apa hubungan Farah dengan lelaki berdarah biru yang sudah dicurigainya sejak awal bertemu.

Tatapan Fiona mengiba. Ia tidak tega. Beberapa kali ia menangkap Farah menahan air matanya keluar. Sahabatnya itu selalu saja membalikkan badan dan berjalan menjauhi Fiona, alasannya mengambilkan dirinya makanan.

"Kenapa ngeliatin aku begitu, sih?" Farah mengernyit dengan muka konyolnya lalu terkekeh pelan.

"Berhenti memakai topeng."

Farah terdiam, mulutnya ia kunci rapat. Sekali-kali ia menatap Fiona seperti ingin mengatakan sesuatu tapi ragu.

"Aku nggak minta kamu cerita jika memang itu bikin kamu sedih, kalau sebaliknya aku siap mendengarkan, Farah."

Hati Farah terenyuh mendengarnya. Ia sedang dalam titik terlemah, wajar jika hal manis yang sepele menurut Fiona menjadi hal besar baginya.

Air mata mulai membasahi pipi mulus itu. Tak banyak berakting, Fiona langsung merengkuh sahabatnya. Dalam pelukan sahabatnya, Farah tetap mengunci mulut agar isakan sedikit teredam.

Tak ada yang bicara satu pun sampai Farah menarik dirinya dalam rengkuhan Fiona dan mengusap air matanya. Gadis hamil itu semakin tak tega kala melihat tatapan lawan bicaranya menggelap.

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang