Bab Sebelas

1K 79 5
                                    

MAHASISWA yang kini menjadi istrinya menatap bingung setelah ia menjelaskan.

"Kenapa?" Bodohnya, Fariz malah bertanya.

Gadis itu yang semula memasang wajah konyol karena tak mengerti pun menormalkan ekspresi. "Nggak, aku ngerasa aneh aja."

Mendengarnya, Fariz tersenyum. "Udah saatnya kamu ketemu mertua." Ia menepuk sekali puncak kepala sang istri.

"Aku pikir kemarin pernikahan kita nggak ada orang tua Bapak karena sesuatu hal."

"Memang sesuatu hal." Fariz menjawab tidak acuh. Teringat sesuatu, ia kembali menatap Fiona. "Jangan panggil aku Bapak lagi. Kesannya tua."

"Aku harus panggil apa?" Wajahnya membuat Fariz gemas. "Lagian Bapak memang lebih tua dari aku."

"Bukan berarti harus Bapak." Pria itu berujar sambil lalu. "Panggilan yang lain selain Bapak. Sayang juga boleh."

"Ngarep aja." Fiona tergelak mendapati tubuh suaminya yang semula membelakangi kini berhadapan dengan cepat.

"Pikirkan di jalan. Kita harus berangkat sekarang nanti macet." Keputusan Fariz membuat Fiona segera menyiapkan diri.

Diam-diam senyumnya mengembang dua kali lipat. Ia rasa bahagia padahal umur pernikahan baru sebiji jagung. Entahlah. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan ritmenya, hanya Fariz yang berhasil mengontrol gelombang itu agar tetap berada di taraf tidak masuk akal.

Sepekan sudah mereka menjalani kehidupan sebagai suami-istri. Waktu selama tujuh hari itu berhasil mengorek sifat terdalam Fariz bahwa prianya memang wujud nyata dari gabungan antara iblis dan malaikat. Terkadang sinis tapi dalam sekejap pula bisa melembut selayaknya kapas. Sepertinya sifat dominan Fariz ada di pihak belis, hanya karena berhadapan dengannya yang berstatus istri, pria itu menahan diri agar aura buruknya tidak keluar dan hanya mendorong energi positif.

Dengan fakta itu, Fiona bersyukur akan pernikahan mereka. Setidaknya tujuan keduanya menikah bukan sekadar penebusan dosa masa lalu. Lebih dari itu, mereka berusaha menyempurnakan agama mereka dengan komitmen menuju pada SurgaNya.

***

Pemuda itu meninju sekali lawan bicaranya yang santai dalam berkata. Tangannya yang sudah memunculkan urat mencengkeram kerah dengan kencang, matanya dapat menyiratkan api Neraka dalam satu sorot yang biasa teduh, amarah sudah memuncak sampai ke ubun-ubun.

"Gue nggak butuh mulut busuk lo buat ngomong hal yang konyol!"

Dari posisi lawan, memandangnya gelisah. Ia tidak mau mati muda pastinya tapi melihat gelagat pemuda di hadapan ini sepertinya memang ingin mengambil tugas malaikat maut hanya untuk mengirim dirinya yang merasa horor ke alam baka.

"Santai, Fli." Gemetar tangannya menghalau pelan kedua lengan kokoh yang terkait di antara saluran pernapasan. "Gue cuma bercanda, lo tahu, kan?"

"Masalahnya gue lagi serius!" Tidak memberi celah, Zulkifli masih memojokkan. "Nggak bisa ngebedain situsi apa?!"

"Calm, Bro!"

"Jelasin ke gue apa yang disuruh Giselle!"

"O--Oke, gue jelasin tapi lepas dulu. Gue nggak bisa napas."

Perlahan Zulkifli mengendurkan cengkeramannya. "Sekarang juga atau perlu gue gali makam buat lo?"

Terbelalak, Hidayat--lawan bicaranya--meneguk saliva gugup. Ia tidak pernah memikirkan setan apa yang bersemayam dalam diri Zulkifli. Jelas pemuda di hadapannya ini terkenal ramah pada semua orang.

Akhirnya dengan satu tarikan napas, Hidayat bercerita. Ia sudah tidak peduli dengan nasibnya di geng Cihuy Squad. Yang terpenting nyawanya sekarang selamat. Mengingat bagaimana emosi membendung dalam satu sorot mata milik Zulkifli, bukan tidak mungkin pemuda di hadapannya ini membunuh dengan tangan kosong.

"Jadi habis Fiona dipukul sama Yani kita bawa ke kamar hotel yang udah dipesan Giselle. Sama juga kayak Fariz, kita bikin posisi mereka seolah habis melakukan itu."

Kembali, roh jahat yang semula menghampiri pun datang lagi. "Terus tangan bejat lo dan temen-temen buka baju Fiona?!"

"E--Eh, bukan." Hidayat menggaruk tengkuk karena gugup. Ia kurang menyaring kata-kata. "Anak perempuan yang buka dan lelaki ngambil alih Fariz."

"Terus!" Mencoba menahan sampai bagian akhir cerita, Zulkifli mengepalkan tangan. Setiap kata yang dilontarkan Hidayat selalu saja membangunkan sisi terburuk dalam dirinya. Entah berapa kali ia melafalkan istigfar untuk menenangkan dada yang bergemuruh.

"Intinya, Fariz dan Fiona nggak benar-benar berhubungan. Ini cuma permainan. Semacam pengalihan fokus. Pastinya Fariz, apa lagi Fiona menganggap sudah melakukannya. Nah, terus Giselle minta Pak Ahmad untuk mecat Fariz untuk mendukung jalan permainan."

Diam. Harap-harap cemas Hidayat menunggu respon Zulkifli, sampai satu tinju melayang lagi. "Habis ini gue mau lo bantuin gue jatohin Giselle."

"Lo gila?" Hidayat tidak habis pikir, ia bawahan, mana ada yang mengkhianati bosnya?

Mendengarnya, Zulkifli tersenyum dengan ganjil, Hidayat merasakan hawa aneh mulai mengelilingi jiwanya. "Milih Giselle yang jatoh apa lo yang gue dorong?"

Ancaman pemuda di hadapannya betul-betul membuat setrum pada diri Hidayat. Ia tidak kuasa membalas lagi. Pada akhirnya, Hidayat menyetujui rencana, sekaligus ia menyelamatkan atma.

***

"Menantu Ibu!" Tina memeluk Fiona dengan erat.

Dalam rengkuhannya, gadis itu berdiri kaku, perlahan ia membalas. "Apa kabar, Bu? Maaf baru bisa datang."

Di balik keeratan tubuh, Tina melempar senyum bahagia pada Fariz. Ia bersyukur anaknya berhasil melewati masa sulit. Sebelum kedatangan keduanya, Tina sempat diberi kabar tentang pernikahannya. Tentu ingin datang, hanya keadaan tidak mendukung. Ia sudah renta untuk mengunjungi anak yang berlabuh di Kota Hujan seorang diri. Agus pun telah sebulan ini tidak pulang. Bersyukur, Tina tidak mengandalkan uang pemberian sang anak, ia selalu diberi rezeki yang cukup dari eksternal untuk menghidupi dirinya seorang diri.

"Ibu baik-baik saja, alhamdulillah. Kamu sendiri, Nak?"

"Fiona juga baik, Bu." Gadis itu tersenyum lebar begitu jarak ia dapatkan.

"Ibu siapkan minum dulu, ayo masuk."

"Jangan Bu, nanti malah buat Ibu repot." Fiona menahan tangan Tina.

Wanita itu membalasnya dengan seulas senyum. "Nggak apa-apa. Membahagiakan menantu 'kan dapat pahala."

Merasa tidak enak, akhirnya ia membiarkan sang mertua berjalan menjauh menuju dapur. Tubuhnya berbalik, menghadap sang suami.

"Maklum, Ibu memang memimpikan menantu dari aku masih dua lima."

"Tapi...." Fiona menggantung. Ia rasa hina, mendapatkan mertua yang sebaik Tina, mengingat bagaimana kondisinya sekarang ini.

"Ibu nggak pernah mempermasalahkan masa lalu. Yang penting sekarang kamu adalah menantu beliau." Fariz menyentil kening Fiona dengan pelan, seolah tahu isi otak sang istri.

Lagi-lagi tidak ada yang paling bermakna selain ucapan rasa syukur. Di balik kejadian dulu antara Fiona dan Fariz yang tidak berjalan mulus, untung sekali kini alam tak kembali menghakimi keduanya.

Rasanya satu ucapan terima kasih tidak cukup Fiona tujukan pada Allah kuasa Yang Maha Baik. Perjalanan ini berhasil membuatnya mengambil hikmah dari setiap ujian yang datang. Bahwa Dia tidak pernah menguji hambaNya melebihi batas kemampuan.

Sesuai pula dengan firmanNya pada surat Saba ayat 19; "Sesungguhnya pada hal itu benar benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur."

Ya. Mudah sekali jika ingin mendapatkan anugerah sebesar yang Fiona dapatkan ini. Dia tidak meminta apa pun kecuali untuk hambaNya bersabar karena Dia Maha Tahu.

*****

bertalian

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang