Bab Dua Sembilan

2.3K 69 6
                                    

"Aku berdoa kepada Allah, meminta bahagia dan Allah mengabulkannya dengan mengirimkan kamu di kehidupanku."
- dari Quotes Islam.

*****

IA mengusap peluh yang menjalar turun dari kening menuju tengkuk. Sepeninggalnya, mungkin Fariz terlampau sibuk dengan kasus yang ditanganinya sehingga didapati rumah kotor penuh debu.

Beberapa serdak itu masuk ke indera penciuman sampai ia bersin-bersin karenanya. Tangan Fiona melepas kemoceng, mendadak ia disibuki dengan bangkis.

"Fiona, kenapa?" Suaminya datang, setelah ditinggal fokus dengan beberapa map yang masuk dari klien.

"Nggak apa--" Berhenti, ia kembali bersin.

"Maaf, ya, rumah kotor banget." Fariz merasa tidak enak. Karena selama ia tinggal sendiri di sini, ia tidak peduli. Lagi pula, kalau memang rumah menjadi sarang kuman dan bakteri, yang kena sakit hanya dirinya, bukan sang istri. Tapi sampai sekarang pun ia terlanjur lupa. "Sini, gantian, biar aku yang bebenah."

"Nggak usah, Kakak ada kerjaan, kan? Nanti klien keburu datang minta konsultasi, Kakak belum siap."

Tangan kekarnya naik, menyeka peluh sang istri. "Aku tega gitu ngeliat kamu capek kayak gini?"

"Tapi--"

"Udah, Nyonya Azucena, duduk aja, ya." Fariz menuntun istrinya untuk duduk di tepi ranjang. Lantas ia meraih kemoceng dan melanjutkan kegiatan istrinya tadi. Membersihkan lemari baju.

Melihatnya, Fiona tersenyum lebar. Sudah empat hari sejak kedatangan surat peninggalan Agus sebelum dirinya dihukum mati dan lima hari setelah kematian Tina karena tumor otak. Gadis itu bersyukur, setidaknya Fariz tidak butuh waktu lama untuk bangkit dari keterpurukan.

Dan selama itu pula Fiona belum sempat menceritakan kehamilannya. Ia ingin memberi kejutan saat animo Fariz sudah baik-baik saja.

Selembar kertas tebal jatuh ketika Fariz membersihkan sela baju. Dipikirnya ada debu, karena waktu Fiona pulang, gadis itu langsung memasukkan saja pakaian yang ia bawa selama di Dubai.

Menunduk, ia mengambil kertas tersebut. Matanya memicing, menganalisis benda apa yang dipegangnya.

"Fiona."

"Ya?"

"Ke mari sebentar."

Gadis itu menurut, ia bangkit dan berjalan mendekat. "Kenapa?"

"Ini--" Ia tidak melanjutkan kalimat tapi tangannya sudah menunjukkan kertas tersebut. "Punya kamu?"

Fiona terbelalak. Ia lupa. Saat pemeriksaannya di Dubai bersama Farah, dokter sempat memberinya foto hasil USG dan satu botol sirup obat yang mengandung penguat janin. Ia diam-diam meminumnya. Namun, untuk hasil USG ia lupa bahwa barang itu diselipkan dekat baju bawaannya.

"Ini punya kamu?" Fariz memperjelas. Harap-harap sesuatu yang menurutnya mungkin mustahil karena sang istri tidak menunjukkan tanda apa pun.

Jantungnya sudah berdebar tidak keruan, apa lagi begitu anggukan istrinya ditangkap pandangan.

"Benar?!" Tidak bisa menahan lagi, Fariz langsung dihujani kebahagiaan.

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang