Bab Lima

1.1K 88 26
                                    

SETUMPUK uang jatuh di depannya. Pandangan pria itu mengarah pada salah satu mahasiswa di kampus binaannya ini.

"Berhentikan dosen bernama Fariz!" Giselle menitah tanpa tahu adab. Matanya melirik dengan malas, menanti respon lawan bicaranya yang masih bergeming.

"Alasannya?"

Bukannya menjawab, Giselle malah melempar lagi sebuah benda di hadapannya. Beberapa lembar foto hasil jepretan kamera yang sudah dicetak membuat pria itu terbelalak.

"Ini Fiona?"

Mengangguk tanpa menoleh, fokus gadis itu tersita ke kukunya. "Fiona nggak usah diusut, yang penting Fariz aja."

"Tidak mungkin Pak Fariz melakukan perbuatan hina seperti ini, apa lagi dengan Fiona, yang pada dasarnya perempuan baik-baik."

Giselle mendengus. Ia menatap pria itu dengan tajam. "Berhentikan Fariz atau lo yang mau diberhentiin?"

Mendelik dengan pandangan tidak suka, Ahmad mencoba untuk tidak dikuasai emosi. "Memang kamu ada masalah apa dengan Pak Fariz?"

"Masalah pribadi, antara gue sama dia doang, lo nggak perlu tau. Yang penting berhentiin Fariz." Gadis itu sudah terlanjur alpa untuk mendengar segala basa-basi. "Nggak ada alasan lagi."

Ahmad memijat kening begitu Giselle meninggalkan kantornya. Ia bingung. Antara menyelamatkan karirnya atau membantu sesama.

Walau pun pria itu berpikir keras akan jalan keluarnya, ia tetap akan mematuhi Giselle. Tanpa pekerjaan, ia tidak akan bisa menafkahi keluarganya.

***

Jantung Fiona berdetak dengan kuat begitu matanya menangkap tubuh Fariz yang memasuki kelas. Gemetar, ia mengarahkan buku untuk menyamarkan kejelasan wajahnya.

Usaha Fiona itu tentu tidak berpengaruh karena Fariz sama sekali tidak menatap padanya. Entah memang pria itu menyadari kehadirannya atau tidak.

Yang jelas, Fiona merasakan sesuatu menggores hatinya menangkap kejanggalan sikap Fariz yang ditujukan padanya.

Baru pertengahan waktu mengajar, seseorang memanggil Fariz untuk mendatangi ruang rektor.

Diikuti pandangan kecewa Fiona, tubuh Fariz langsung pergi meninggalkan kelas, sekaligus meninggalkan luka dibalut rasa pada kalbu gadis itu.

Sedangkan dari posisi Fariz, ia tidak pernah terpikirkan untuk menghadapi hari ini tepat di depannya. Fariz mematung saat manifesto dilayangkan Ahmad padanya.

Dengan segala kegelisahan, Fariz mencoba meluruskan. "Tapi saya betul-betul tidak tahu soal itu, Pak. Saya dijebak."

Menanggapi dengan senyum, Ahmad tetap pada pendirian. "Maaf Pak Fariz, saya berterima kasih banyak karena Bapak berkenan menjadi dosen pengganti di kampus ini tapi kami tetap intoleran."

Tangan Fariz tanpa sadar terkepal, pikirannya tertuju pada Fiona. Sebisa mungkin hari ini ia menghindari diri dari sesuatu yang bersangkutan dengan gadis itu, entah mengapa alam seolah mengoloknya, membuat Fariz kembali pada satu nama lagi.

Ia benci keadaan seperti ini.

Di mana asmara melemahkan urat nadi yang tegang saat amarah terus bergejolak, memantik api terdalam dirinya untuk melontarkan segala perilaku buruk sebagai bentuk pengekspresian diri.

***

"Kamu pulang duluan aja ya, Fiona."

Mengerutkan kening karena tidak paham. "Kenapa? Kamu ada tugas?"

Zulkifli mencetak senyum pada wajahnya. Pikiran pemuda itu kembali mengarah pada rencana yang sempat menjadi bahan diskusinya dengan kedua orang tua Fiona. Ia diamanahkan untuk tidak mengatakan perihal ini pada Fiona, bahwa Zulkifli ingin menemui Fariz.

"Iya, perpustakaan di kampus ini banyak ngasih referensi. Sekalian aku mau konsul sama dosen." Tangan Zulkifli menepuk puncak kepala gadis di hadapannya. "Kamu pulang hati-hati, ya."

Merasa tidak enak, Fiona menurunkan tangan sahabatnya, teringat dengan Cantika yang melabraknya beberapa hari lalu. Kemudian Fiona sudah mengangguk dengan senyum menenangkan.

Sepeninggal Fiona, Zulkifli mengarahkan langkah menuju kelas hukum perdata. Sesuai dugaannya, Fariz masih berada di ruangan, sibuk dengan barang bawaannya.

"Permisi, Pak."

Mendongak, mata Fariz memicing, ia sedang jauh dari kondisi ramah saat ini tapi mencoba bersikap normal. "Ya?"

"Apa Bapak punya waktu sebentar?"

"Untuk apa?" Seingat Fariz pemuda di hadapannya ini bukan dari kelas yang diajarnya.

"Sebelumnya saya perkenalkan diri dulu. Saya Zulkifli Miyaz Awwab, mahasiswa semester tujuh di Fakultas Ekonomi dan Bisnis." Berhenti sejenak, Zulkifli ingin melihat respon Fariz. "Saya kawan karibnya Fiona."

Satu nama itu berhasil membuat Fariz mematung. Ia menoleh, pandangannya sulit diartikan begitu menangkap raut menghina secara samar muncul pada ekspresi Zulkifli. Dalam beberapa sekon saja mereka terkunci di keheningan. Sibuk akan penilaian yang dilakukan oleh masing-masing individu.

"Begini, saya sudah dengar cerita bahwa Bapak dan Fiona--" Menggaruk tengkuk karena terlalu tabu, Zulkifli kemudian berdeham. "Begitu."

"Jadi kedatangan kamu ke sini?"

"Bapak sedang lajang, kan?"

Mengangguk, Fariz dapat mencium gelagat aneh dari pemuda di hadapannya.

"Bagaimana kalau Bapak bertanggung jawab pada Fiona?" Zulkifli mencoba menurunkan nada bicaranya, tidak mau memancing amarah.

Fariz diam. Ia tidak langsung merespon karena perkiraannya melesat tepat sasaran. Mencoba menenangkan diri dulu, pria itu lantas sudah menaikkan sudut bibirnya, menciptakan senyum meremehkan. "Ini semua tidak sesuai dengan pemikiranmu, Zulkifli."

"Maksud Bapak?"

"Hari itu Fiona mendatangi saya dengan sebotol minuman yang dia berikan pada saya lalu bertanya tentang pekerjaan. Terhanyut sambil bercerita, saya tidak tahu kalau Fiona sudah memasukkan obat tidur pada minuman saya."

Zulkifli terbelalak. "Fiona nggak mungkin melakukan itu, Pak."

"Buktinya kami sudah terlibat zina karena pikiran liciknya."

"Tapi Fiona memang nggak seperti itu. Dia nggak licik."

"Zulkifli." Menghela napas sebentar, Fariz bisa merasakan aura marah mengelilingi diri pemuda di hadapannya. "Zaman sekarang jangan mau tertipu dengan sampul depan saja. Kamu harus tahu batin seseorang dari dalam juga. Bukankah peribahasa serigala berbulu domba itu benar adanya?"

"Mohon maaf, Bapak nggak bisa menghakimi Fiona."

"Tentu saya bisa. Saya korban, Zulkifli. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang saya jelaskan tadi, kamu bisa minta rekaman CCTV sama petugas di sini." Jeda sejenak. "Karena perbuatan kawan karibmu itu saya harus dipecat jadi dosen. Walau pun Fiona yang bersalah, tentu saja kau sudah tahu bahwa dunia tetap akan mengadili pria sebagai terdakwa. Mirisnya bentala ini yang minim pendidikan hukum." Pria itu mengakhirkan dengan lengkungan pahit.

Bungkam saja, Zulkifli benar-benar terpukul dengan telak mendengar segala ujaran Fariz mengenai Fiona. Tentu saja sahabatnya tidak senista itu. Ia masih bisa berpikir positif tentang Fiona, gadis itu adalah perempuan baik-baik. Tidak mungkin memurahkan diri, meski Zulkifli tahu Fiona menyukai Fariz, pasti gadis itu akan memilih mendoakan dalam diam dari pada harus menggunakan cara jalang seperti itu.

"Jika kamu meminta saya kembali untuk kedua kalinya, maka saya akan jawab dengan pasti. Saya menolaknya." Lantas Fariz sudah meninggalkan Zulkifli dalam keheningan beserta pikirannya yang berkecamuk.

Pemuda itu masih belum terima dengan fakta yang dijabarkan oleh Fariz. Segala kalimatnya, ingin sekali Zulkifli tangkis satu-persatu. Begitu sadar dari keterkejutan, pandangannya menoleh pada pintu kelas, seolah di sana masih ada Fariz. Diam-diam ia mengepalkan tangan, merasa kebencian langsung menyeruak dan tentu saja sasarannya adalah Fariz.

*****
• bertalian •

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang