Bab Tujuh

1.1K 90 11
                                    

HELAAN napas itu langsung terdengar kala melihat sahabatnya yang masih berdiam di atas ranjang. Pandangannya kosong ke depan, kedua kakinya ditekuk, sebagai bentuk jaga-jaga takut kepala mendadak letih dan terkulai sambil menangis--lagi.

Pemuda itu berjalan menghampiri. "Hari ini kamu ada kelas, kan? Kok belum siap-siap?"

Fiona diam, ia tidak bersuara sampai lirihannya menggema. "Untuk apa? Lagian bentar lagi aku pergi."

"Kamu nggak mau pamitan sama Pak Fariz?" Meski sebal karena penolakan pria itu sudah bukan rahasia lagi di keluarga Fiona, tetap saja Zulkifli tahu kelemahan sang sahabat.

"Kalau pamit hanya untuk diinjak, lebih baik nggak pernah ada kata permisi."

Zulkifli bungkam, ia mendudukkan diri di tepi ranjang. "Barangkali bukan kamu tapi Pak Fariz."

Mengerutkan kening, Fiona bingung dengan perkataan sahabatnya. Hal itu tentu ditangkap dalam pandangan Zulkifli. "Pak Fariz diberhentikan jadi dosen karena masalah kalian."

Seketika mata Fiona terbelalak. "Kamu tau dari mana?"

"Waktu aku samperin beliau." Harap cemas menunggu jawaban, Zulkifli langsung mendapati Fiona bangkit, bersiap pergi ke kampus.

Dalam hati, pemuda itu menertawakan perubahan animo sang sahabat. Memang perempuan, sudah disakiti tetap merasa peduli.

***

"Apa saya tidak dihukum?" Fariz masih tidak yakin.

"Tidak, Pak." Kembali, Ahmad mengulang jawaban yang sama atas pertanyaan Fariz sebanyak tiga kali.

"Tapi saya sudah berzina." Memang pada dasarnya penegak kaidah, Fariz terima saja jika ia diberi ganjaran.

"Pengeluaran Bapak dari kampus ini sudah termasuk hukuman."

Mendengarnya, otak Fariz berputar. Ada yang aneh. Ia merasa dirinya berdosa dan sudah sepantasnya untuk dihukum secara adil.

Pemberhentian jadi dosen adalah hukuman yang terlalu ringan bagi dosa berzina.

Ada apa dengan negeri ini?

Fariz tidak habis pikir. Dulu, semasa ia masih mengenyam pendidikan di bangku SMP, banyak terdengar kasus perajaman hanya karena berduaan di satu ruangan dengan yang bukan mahram. Belum sampai tahap yang intim. Jangankan hal itu bisa terjadi, pegangan tangan pun belum tapi masyarakat sudah menghakimi.

Kejam memang. Namun kalau dipikir ulang, generasi orang tua dan anak muda berbeda jauh. Mereka yang sudah renta, berhasil menjalani hidup yang berkah, karena semata tujuan hanya pada Tuhan. Takut terhadap Allah menjadi landasan terkuat di dalam kalbu mereka.

Sedangkan sekarang?

Muda-mudi bebas, seolah asas zaman dulu hanya cerita lalu. Pacaran, bergandengan tangan atau bahkan menghabiskan malam tanpa takut adanya ancaman. Benar-benar dunia yang jauh dari ketenangan akhirat.

Tiba-tiba Fariz teringat dengan Giselle. Gadis itu. Ia sengaja belum melaporkan. Waktu itu dirinya hanya menggertak karena memang sistem peraturannya seperti itu. Beri tahu sebanyak tiga kali, lantas yang ke empat, sudah bisa mengambil langkah.

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang