Bab Dua Delapan

950 58 4
                                    

DENGAN langkah kaki yang cepat, ia segera membuka pintu. Didapatinya tubuh tinggi menjulang di hadapan.

"Mana? Mana Fiona?" Suaranya tersendat, seperti habis berlari jauh dengan waktu yang singkat.

"Ada di rumah sebelah." Tangan Zulkifli menunjuk samping, mengarah pada kediaman keluarga Azucena.

Mengikuti arah jempol Zulkifli, mata Fariz yang semula mengobarkan semangat mendadak langsung sendu. Ia teringat, bahaya jika dirinya masuk ke dalam keluarga istrinya. Bukan apa, hanya belum siap mental mendapat kecaman dari ayah mertua.

"Tenang, Ammu sama Bibi lagi nggak di rumah, sejak Fiona pergi. Lagi masa-masa sibuknya." Zulkifli seolah paham perubahan wajah pria di hadapannya.

Langsung saja ia kembali berbinar ketika mendengarnya.

"Tapi akan kembali nanti malam kalau saya nggak salah informasi."

"Sama saja." Lemas lagi, Fariz berusaha tenang. Bukan hanya sehabis berlari tapi juga mengetahui fakta baru.

"Yang terpenting saat ini Ammu dan Bibi lagi nggak di rumah. Bapak bisa ngajak Fiona pulang dan bersikap seolah nggak pernah ada masalah antara kalian di hadapan Ammu dan Bibi." Kepala Zulkifli muncul ke dalam sebentar pada celah pintu. "Ummi, Zulkifli ke sebelah dulu, ya."

Satu sahutan itu membuat Fariz paham bahwa di rumah Zulkifli sedang ada ibunya. Belum sempat meminta izin juga, tubuhnya sudah didorong mengikuti langkah pemuda di sampingnya.

***

"Siap-siap!" Fiona memberi senyuman terlebarnya.

Farah menatap tidak mengerti. "Kita mau pergi?"

"Iya, ketemuan sama Zulkifli, we time. Kita bertiga!"

Dan ekspresi itu yang diharapkan Fiona untuk keluar dari Farah sejak kepulangan mereka dari Dubai.

"Oke, tunggu sebentar."

Pintu terketuk disertai suara salam. Fiona sengaja meminta Zulkifli datang lebih cepat dan memberitahu Farah ketika waktu hampir habis. Karena Fiona paham bahwa Zulkifli akan menghibur seperti biasa.

"Assalamu'alaikum!" Salam itu masih terdengar.

Bergegas untuk membuka sambil menjawab, kebahagiaan Fiona meningkat saat matanya menangkap Zulkifli berdiri di depannya dengan senyum.

"Good job!" Jempolnya terangkat tapi mendadak lemas seketika begitu sosok lain tertangkap pandangannya.

"Assalamu'alaikum, Fiona." Lengkungan itu yang ia rindukan selama kepergian mendadaknya.

Tidak, macamnya Fiona merindukan semua yang ada di pria itu. Bahkan menyebut namanya dalam hati saja sudah berhasil menciptakan efek.

"Fiona, ayo berangkat. Aku udah si--" Farah memenggal kalimatnya, menatap bingung pada satu pria yang berdiri di samping sahabat lelakinya. "Loh?"

"Aku yang ngajak beliau, nggak apa-apa, kan?" Tangan Zulkifli menepuk bahu Fariz.

Hendak menjawab, ujaran Fiona dipotong Farah. "Nggak mau. Ini 'kan khusus bertiga. Lagian siapa beliau?"

Berdeham, Fiona mengabaikan saja ketidakterimaan Farah. "Jadinya mau gimana?"

"Aku pergi berdua sama Farah aja, kamu sama Pak Fariz, ya. Ini 'kan rumah kamu, beliau dijamu, lah."

"Kenapa, sih?" Farah merasa ada yang tidak beres.

Zulkifli mempertahankan senyum yang ganjil, ia menarik Farah untuk mendekat. "Lo ikut sama gue, harus nurut. Kalau nggak, lo gue tinggalin di pinggir jalan."

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang