Bab Enam Belas

992 71 22
                                    

PRIA bertubuh tinggi itu bersiap di posisinya. Ia menyandar tepat di samping pintu. Lantas saat benda persegi besar itu terbuka, Fariz sudah menyambut kedatangan sang istri dengan pertanyaan.

"Ada urusan apa di apotek?"

Sejauh pernikahan mereka yang sudah menginjak sebulan lebih, tidak pernah Fiona cerita bahwa dirinya punya penyakit hingga mengharuskannya pergi ke rumah obat. Terlebih dalam sudut pandang Fariz yang mengintip dari jarak tidak terlalu jauh, ia mendapati satu bungkus diterima sang istri. Entah itu apa.

"Kak?!" Gadis itu langsung serangan jantung melihat tubuh tegap suaminya berdiri sempurna.

"Jawab pertanyaan aku!"

Masih syok, rasa takut menjalar pada dirinya. Ia ngeri bila sampai tertangkap basah karena membeli sebuah testpack. Tangannya menyembunyikan dengan pelan, tidak mau menarik perhatian suaminya yang fokus menilik wajah.

"A--Aku habis beli obat pusing. Dari pagi nyeri kepala nggak hilang."

Mata Fariz menyipit. "Kamu nyembunyiin sesuatu?"

"Nggak." Fiona menggeleng. Dua pekan tanpa suara, sekalinya berbicara malah curiga. Itulah Fariz. "Kakak mau makan? Biar aku masak dulu, ya."

Merasa istrinya mengalihkan topik, pria itu sudah menghalangi langkah sang istri yang berniat menghindar. "Berikan aku obat pusing yang kamu beli itu!"

"Obat biasa, Kak. Kakak nggak mungkin ngira aku pakai narkoba, kan?" Ia menepis pelan lengan Fariz yang sudah terulur. Pandangan Fiona yang semula masih tenang, mulai gelisah. "Aku mau masak dulu, keburu Magrib nanti."

"Fiona!"

Tidak berhenti dari langkah, mumpung sudah lolos, Fiona menulikan diri, ia dalam hati memohon ampun agar tidak mendapat azab karena menghiraukan panggilan suaminya.

Derap langkah kaki yang seirama dengan miliknya terdengar mengikut di belakang. "Berikan aku obatnya, Fiona!"

Fariz tidak mengira apa pun kecuali Fiona menyembunyikan penyakitnya. Hanya itu. Ia khawatir pastinya. Takut-takut gadis itu mengidap sesuatu yang mungkin akan membahayakan bila tidak ditangani segera. Lihat, pastinya pria itu masih punya hati untuk curiga sesuai dengan dugaan istrinya. Itu terlalu jahat.

"Kakak nggak pernah tau obat pusing?" Ia mulai geram. "Nggak perlu curiga, aku baik-baik aja. Memang cuma pusing sedikit."

"Pusing sedikit nggak perlu minum obat, kan? Aku minta kamu kasih obatnya untuk bantu menganalisa, jangan main asal minum, takut berdampak buruk." Pria itu mulai merayu.

"Itu--" Fiona mengutuk diri, ia masih tegar menyembunyikan benda yang baru saja dibelinya. "Insya Allah, aman."

"Berikan!" Dalam satu sentak Fariz sudah berhasil menggapai lengan Fiona yang sengaja berada di belakang punggung.

"Jangan, Kak!"

Mereka sibuk. Sang suami tidak punya pilihan lain selain menarik paksa, sedangkan istri tetap kuat pada pendiriannya. Keduanya bergulat hingga Fariz memutuskan menarik tubuh sang istri ke dalam rengkuhan, gadis itu terkurung sempurna dalam tubuh tegapnya. Sebelah tangan lagi senantiasa berusaha melepaskan cengkeraman Fiona pada plastik.

"Lepas!" Tidak mau kalah, gadis itu selain mempertahankan genggamannya, ia juga menjauh. Rasa mual langsung mendera saat harum tubuh Fariz menggelitik indera penciumnya. "Lepas, Kak!"

Begitu lolos, kakinya langsung berlari menuju kamar mandi, menuntaskan desakan yang muncul sebagai penyelamat. Ia muntah di wastafel, wajahnya sudah terlanjur pucat, kepala rasa berkunang membuatnya tidak mampu menyangga tubuh, hingga sekuat tenaga menahan diri, bertumpu dengan kedua lengan yang gemetar.

ZilullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang