DUA BELAS - Naya

10.7K 1.2K 65
                                        

Bel pulang baru saja dibunyikan. Naya langsung berjalan cepat menuju kelas XII IPS-1 yang berada di lantai paling bawah gedung berlantai empat yang dindingnya dicat warna putih itu. Langkahnya memelan saat ujung sepatu Adidas warna putih miliknya menyentuh ambang pintu kelas.

Yang tersisa diruang berbentuk persegi itu hanyalah Fahmi, Irvan, Sekar, Muthi dan Rias. Naya sontak berhenti melangkah sat tatapan matanya langsung terkunci dengan mata Sekar yang masih sibuk merogoh jaketnya yang ia simpan di dalam laci meja.

"Kar," panggil Naya sembari mengambil beberapa langkah kedepan dan masuk kedalam ruangan. Sementara yang dipanggil langsung melengos. Berpura-pura tidak melihat Naya yang berjalan mendekat.

Tepukan di bahunya membuat Naya menoleh langsung ke arah kiri dan mendapati Fahmi berdiri di sana dekatnya tas yang sudah ia sampirkan di bahu. "Lo abis darimana?"

"Gue?"

"Iya. Kok baru ke kelas?" tanya lelaki itu tanpa merasa ada kejanggalan di antara dua siswi yang tadinya duduk sebangku. Naya dan Sekar juga tidak tahu apakah permasalahan mereka mencolok atau tidak. Tapi yang pasti, makhluk bernama Fahmi itu memang terkenal tidak peka. "Bolos lo?"

"Ooh, gue dari UKS," balas Naya sambil bergantian menatap Fahmi dan sesekali mencuri tatap pada Sekar yang sudah selesai memakai jaketnya.

Fahmi mengangguk paham lalu ia merangkul bahu Irvan yang sudah siap di sampingnya, "yuk, bor!" ajaknya santai sambil melenggang ke arah pintu

"Angkringan Babe dulu nggak, nih?"

"Yoi. Katanya si Ridwan punya game baru,"

"Apaan?"

"Nah itu gue gatau!" Lamat-lamat, suara dua lelaki penghuni kelas itu sudah menghilang dibalik tembok yang masih berdiri kokoh. Yang tersisa di dalam kelas hanya tinggal sepasang sahabat ini. Sedangkan Muthi dan Rias sudah meninggalkan kelas dua menit lebih dulu sebelum Irvan dan Fahmi.

Sekar langsung berlalu seolah tidak ada Naya didepan matanya, seolah yang ia lihat hanya tembok kosong dan pintu yang sudah terbuka. Hal itu terjadi sampai Naya memutuskan untuk meraih tangan kiri Sekar dengan tiba-tiba. "Kar, sumpah ya."

"Apa lagi, sih?"

"Gue mau ngomong," ucap Naya tanpa melepaskan genggamannya.

"Apa lagi?"

Naya menghela napas, matanya terpejam beberapa detik sampai ia merasa bisa menghirup udara lebih baik. Kemudian, perempuan itu menatap sahabatnya lagi, "Gue nggak ngerti kenapa lo ngomong begitu."

"Gue mau pulang."

"Sekaaar," pinta Naya sambil menahan tubuh teman sebangkunya. "Oke gini. Kalo gue punya salah sama lo, gue minta maaf. Kalo gue nyakitin lo, gue minta maaf dan gue bener-bener nggak sengaja."

"Udah selesai ngomongnya?" tanya Sekar sarkas. Cewek itu lalu tersenyum kecut. "Lo tau gue suka sama Reza dan sekarang lo bilang lo nggak sengaja nyakitin gue?"

Naya kembali menghela napas. Ia menatap Sekar sebelum kembali membuka suara, "Astaga...," Ada jeda. "Karena Reza? Gue sama Reza itu dari kecil cuma sahabatan, Sekar. Masa lo–"

"Lo tuh bener-bener munafik, ya?" Sekar menepis tangan Naya dari bahunya, "Harusnya lo nggak usah kayak gini. Kalo dari awal lo bilang lo suka sama Reza, gue nggak akan maju, Nay. Sekarang gue udah terlanjur maju. Ternyata apa? Lo didepan dukung gue, padahal nyatanya lo sendiri suka sama Reza. Tapi lo pengecut."

Naya menahan napasnya. Sejak detik pertama Sekar membuka suara. Apa yang dikatakan oleh sahabat sekaligus teman sebangkunya itu terasa seperti hunusan parang yang menembus rongga dadanya.

StardustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang