"LO KENAPA ANJIR?"
Naya yang kembali ke kelas dalam keadaan mata merah dan bahu naik turun menahan isak sontak membuat Sekar yang sebelumnya sibuk tertawa bersama Fahmi dan Irvan langsung menghambur ke arah teman sebangkunya itu.
"Kenapa lo?"
"Nay, kenapa?"
Dua pertanyaan yang sama juga langsung dilontarkan oleh Irvan dan Fahmi begitu Naya duduk di bangkunya. Dengan Sekar yang berusaha menenangkan.
"Pasti ribut sama Reza ya?" tebak Fahmi. Tidak ada jawaban. Sampai Sekar berinisiatif menyeka air mata Naya yang masih tersisa di sudut mata.
"Kenapa?" ulang Sekar. "Kalian berantem?"
Naya menggeleng. "Gue putus."
"Putus?"
***
"Putus?" Mata Alivya melebar saat Reza tiba-tiba menceritakan apa yang baru saja terjadi antara ia dan kekasihnya. "Yang mutusin siapa?"
"Naya."
"Kenapa?"
"Gue nggak tau." Reza menyandarkan punggungnya ke bangku. Membiarkan seluruh bebannya seolah ia sandarkan di situ walauun nyatanya tak semudah itu. Bayangan wajah Naya yang beberapa puluh menit lalu saat meminta mengakhiri hubungan kembali muncul di depan pelupuk mata. Reza lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangan. "Aneh Liv, sumpah. Nggak mungkin Naya kayak gini."
"Terus menurut lo dia kenapa?"
"Gue nggak tau," ulang Reza. Suaranya yang sama sekali tidak ia pelankan akhirnya membuat Nigel dan Fajar yang sedang menjelaskan materi di depan kelas ikut menoleh ke meja yang letaknya di belakang kelas.
"Itu yang di belakang ribut sendiri coba maju ke depan!" bentak Nigel. Tentu saja yang ia maksud adalah Reza dan Alivya. Kedua murid yang tadinya duduk itu kemudian berdiri dan maju ke arah papan tulis.
"Kalian diskusiin apa?" tanya Fajar. Suaranya lebih pelan daripada Nigel. Reza memilih diam. Ia sedang tidak berselera menjawab pertanyaan siapapun.
"Bahas game, Pak." Alivya menyahut. Dan jawaban yang ia berikan adalah kebohongan 100%.
"Kerjakan itu dua soal di depan!" sembur Nigel seraya menyerahkan sebuah spidol hitam kearah Reza.
"Nggak bisa."
"Nggak bisa?" ulang Nigel. "Saya bilang kan kerjakan dulu!" bentak Nigel. Reza mau tidak mau menerima spidol itu. Kemudian ia membiarkan Nigel berjalan ke arah meja guru untuk bicara dengan Fajar.
"Ayo, Za. Kerjain bareng," ajak Alivya. Tapi Reza langsung menepis tangan anak perempuan yang baru hendak menyentuh lengannya. Melihat respon Reza sebegitu kacaunya, Alivya memilih mengerjakan satu soal lebih dulu dan selanjutnya ia akan membantu Reza di soal berikutnya.
Reza memulai coret-coretannya di papan tulis dengan sembarang karena ia tidak mengerti sama sekali bagaimana cara mengerjakan soal logaritma yang ada di papan tulis.
"Kemaren lo kemana?" Suara Fajar yang bertanya pada Nigel dengan pelan masih bisa di dengar oleh Reza dan Alivya, Nigel yang berdiri di samping meja guru. Jarak mereka dengan Reza hanya terpaut sekitar 1,5 meter saja.
"Jalan laaah," sahut Nigel. Suaranya sengaja dinyaringkan sehingga Reza bisa mendengar apa yang ia katakan dari tempatnya berdiri. "Sama Naya," sambungnya sambil tertawa kecil.
Tangan Reza yang menggenggam spidol menguat. Seleranya untuk mengerjakan soal mendadak hilang. Anak laki-laki itu menutup spidol yang ia pegang perlahan lalu meletakkannya di saku kemeja sekolah. Sementara Alivya yang mencium gelagat tidak baik ikut-ikutan menghentikan aktifitasnya menulis. Reza lalu berbalik badan hingga ia bisa menatap Nigel dan Fajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stardust
Ficção Adolescente#21 in Teen Fiction (31/01/2018) "Apapun akhir cerita yang kita punya, bagaimanapun akhir yang kita ciptakan nanti, aku ingin kamu tahu satu hal. Tidak semua pertanyaan mempunyai jawaban. Dan kita, mungkin adalah salah satu diantaranya," kata Naya s...