DUA PULUH TIGA - Reza

5.5K 744 53
                                        

Reza sekali lagi melirik jam tangan pada pergelangan tangan kirinya. Jam itu adalah pemberian Naya beberapa bulan yang lalu. Tepatnya saat hari pertama di bulan November, Naya tiba-tiba datang ke rumah Reza dengan sebuah kue tar, dan kotak kado sederhana berisi sepatu dan jam tangan seraya menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Ingatan tentang hari ulang tahunnya yang lalu membuat Reza tersenyum tipis. Cowok itu kemudian menatap ke luar kaca mobil. Tepatnya ke rumah yang dicat kuning gading yang gerbangnya tidak ditutup rapat.

Tak lama setelah Reza memalingkan wajah, seorang anak perempuan dengan rok selutut dan kemeja sederhana warna putih keluar dengan tas kecil warna hitam.

"Maaf ya lama, tadi soalnya gue nyari HP dulu." Suara itu langsung masuk ke telinga Reza bersamaan dengan pintu mobilnya yang terbuka. Yang diajak bicara kemudian langsung menolehkan kepala sambil mengangguk dua kali.

"Hah? Nyari HP apaan?"

Saras terkekeh menertawakan kebodohannya sendiri. "Gue tadi tuh lupaaaa naroh HP dimana, eh ternyata gue taroh di dapur. Jadi gue udah panik gitu deh ngubrek-ngubrek kamar," cerocosnya bercerita. "Maap, ya. Jadi lama lo nungguin."

Sejak hari dimana Saras menceritakan sebagian besar masalah keluarganya kepada Reza, Reza dan Saras mulai dekat sebagai teman. Dan entah untuk alasan apa, Reza seperti merasa bahwa hanya dia lah yang bisa menguatkan Saras saat ini karena Saras berkata, hanya Reza lah yang ia punya.

"Iya, santai aja, Ras." Reza tersenyum simpul. "Kita mau ke?" tanyanya lagi.

"Ke mana aja, deh. Yang penting gue nggak sumpek di rumah."

"Nonton?" ajak Reza meminta persetujuan. Yang diajak kemudian mengangguk antusias.

"AYOOO! Ada film baru kan?"

Reza tersenyum ditambah menganggukkan kepalanya sekilas sebelum  menjawab, "iya." Kemudian, anak laki-laki yang rambutnya agak gondrong itu menoleh ke cewek yang duduk disebelahnya untuk memastikan sesuatu. "Ras?"

"Iya, apa?"

"Seatbelt nya dipake dulu." Sedetik setelah Reza bicara, laki-laki itu langsung memutar kunci mobil dan menyalakan mesin kendaraan roda empat itu tanpa merasa ada yang berbeda. Karena menurut Reza, memakai sabuk pengaman saat berkendara itu perlu. Dan ia pasti selalu begitu saat bersama Naya, apalagi saat perempuan itu dengan begitu bodohnya langsung  masuk ke mobil, lalu bercerita pasal Bu Bertha yang galaknya minta ampun, atau saat perempuan itu tiba-tiba merangkul lengannya dengan manja tanpa memakai sabuk pengaman.

Tetapi, berbeda dengan Reza yang merasa biasa-biasa saja, Saras sejak tadi justru terpaku di tempat ia duduk. Setelah tangannya secara reflek memasangkan sabuk pengaman mobil. Cewek itu diam. Menatap ke luar jendela dengan pipi yang bersemu merah, bibirnya sebisa mungkin ia paksakan untuk bersikap datar walaupun sejujurnya sejak tadi Saras sudah tidak tahan ingin tersenyum kecil. Entahlah. Ia sendiri tidak yakin dengan apa yang ia rasa belakangan ini. Dan anehnya perasaan itu muncul saat dirinya berada di sekitar cowok bernama Reza itu.

"Woi?" panggil Reza lebih keras. Saras tergagap. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan cowok itu berusaha memanggilnya.

"Hah? I-iya, apa?" tanya Saras gagap.

"Ngelamun mulu," tegur Reza. "Daritadi gue ngomong gak didengerin."

"Iya, ih. Maaf. Tadi lagi kepikiran PR soalnya, hehe," sahut Saras seratus persen mengarang. 

"Yailah, PR dipikirin. Nggak ada yang lebih enak buat dipikirin emangnya?"

Saras terkekeh, "ada sih."

"Nah. Mikirin nasi padang contohnya."

"Ih," Saras menepuk lengan Reza bercanda. "Bukaaaan."

Reza tertawa kecil. "Terus apaan?"

StardustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang