"Kan udah sering gue bilangin, jangan suka nyari gara-gara di sekolah." Omelan Naya masuk lagi ke telinga Reza malam ini. Jam dinding warna putih yang ada di kamar Naya menunjukkan pukul setengah sebelas malam dan perempuan itu masih mengenakan baju yang tadi ia pakai saat pergi menonton di bioskop dengan Septian.
"Kalo dikasih tau, dengerin," kata Naya lebih mendekatkan jarak wajahnya dengan wajah Reza. "Kalo gue lagi sibuk atau nggak di rumah, lo kan bisa ngobatin luka lo sendiri, atau kalo lagi males ya minta tolong sama si Mbak. Nggak usah nungguin gue sampe malem begini."
"Bawel," sahut Reza ringan seolah tanpa beban, Naya memutar bola matanya kesal lalu menekankan lebih kuat kain yang ia sebelumnya ia celup kedalam mangkok berisi air es itu ke luka Reza.
"Dikasih tau yang bener juga!"
"Aduuh!"
"Kalo misal lo nunggu gue terus keburu infeksi gimana? Nyaut mulu dibilangin."
Reza mengulum bibir atasnya sejenak lalu membalas ucapan Naya dibarengi dengan usapan tangan di puncak kepala gadis itu, "iya-iya, Nenek Jambrong."
"Dikasih tau jangan iya-iya doang." Naya mencelupkan kain warna putih ke dalam air es lagi sebelum mulai berpindah ke luka di dahi Reza. "Besok-besok, kalo mau gue kompres lukanya, bayar!"
"Iya gue bayar," sahut Reza sambil tersenyum walaupun itu artinya ia harus menahan nyeri di sudut bibir. "Pake cinta."
"Najis."
Reza tersenyum lagi begitu Naya memasang tampang sebal seraya meletakkan mangkok berisi air es ke atas meja kecil di sudut ruangan. Anak lelaki itu terus mengamati perempuan yang dua tahun lebih tua darinya itu.
"Nay?"
"Hm?" tanya Naya sambil menolehkan kepala sekilas sebelum kembali menyibukkan diri dengan plester bergambar hati yang baru ia beli di warung depan. "Apaan sih? Kebiasaan, suka manggil tapi giliran gue nyaut malah–"
"Makasih, ya?" kata Reza setelah ia justru terdiam selama empat detik lamanya.
"Jangan makasih-makasih doang lo, bayar dulu kan gue bilang."
"Iya ini kan sambil gue bayar," kata Reza santai sambil tersenyum hingga matanya menyipit dan pipinya mengembang.
"Mana?"
"Ini." Reza menunjuk wajahnya. "Pake senyuman manis."
"Idih, najis." Naya terkekeh sambil kembali ke arah tempat tidur dan duduk bersila di tepi kasur, berhadapan dengan Reza.
"Halah."
"Sinian mukanya," kata Naya sambil menyentuh pipi Reza dan mengarahkannya sesuai tempat yang pas untuk dipasangi plester luka. "Dikasih plester dulu."
"KOK PINK?" tanya Reza sambil menyegah tangan Naya memasangkan benda itu ke dahinya.
"Maunya apa? Ungu? Emang lo janda?" tanya Naya bertubi-tubi.
"Astaghfirullah...." Reza menatap perempuan dihadapannya dengan tatapan tidak percaya. "Gue cium nih."
"Bukan muhrim."
"Belom," ralat Reza.
"IH BAWEL AMAT SIH!" Naya langsung menepis tangan Reza dari pergelangan tangannya. Sebelum ada yang menyadari bahwa apa yang barusan ia lakukan adalah upaya untuk mengusir rasa panas yang menjalari pipi. Lalu ia menangkup wajah anak lelaki itu dan menempelkan plester lukanya secara paksa. Sementara Reza sejak tadi tidak bisa berhenti menatap ke arah wajah perempuan yang malam ini memakai kemeja polos berwarna putih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stardust
Novela Juvenil#21 in Teen Fiction (31/01/2018) "Apapun akhir cerita yang kita punya, bagaimanapun akhir yang kita ciptakan nanti, aku ingin kamu tahu satu hal. Tidak semua pertanyaan mempunyai jawaban. Dan kita, mungkin adalah salah satu diantaranya," kata Naya s...