DELAPAN BELAS - Naya

13.4K 1.3K 314
                                        

Roda papan skate yang ditumpangi Reza meluncur cepat melewati lorong-lorong kelas yang berada di koridor dasar SMA Wijaya Kusuma. Anak lelaki itu melenggang santai dan dengan lihai memainkan papan yang sudah biasa ia naiki sejak kelas satu SMP.

Beberapa siswa yang lalu lalang di koridor terpaksa mengalah dan memberi jalan ke pada Reza. Entah karena malas menjadi target keusilan, atau memang takut tertabrak anak lelaki bergelang hitam itu.

"MISI MISI," kata Reza memelankan laju papan skate nya saat ia lihat dua meter di depan ada gerombolan mahasiswa PPL yang akan magang di sekolahnya.

"AWAS!" kata Reza nyaris memekik begitu tubuhnya menabrak punggung seseorang dengan jas almamater warna biru navy. Reza reflek melompat turun dari papan skate yang ia tumpangi sebelum tubuhnya jatuh ke kanan. "Sori, sori!" katanya cepat seraya membungkukkan badan dan mengambil papan skate warna hitam itu dengan acuh.

"Novreza lagi!" geram Pak Yunus. Laki-laki berbaju batik dengan kacamata itu langsung memasang tampang galak begitu melihat salah satu muridnya menabrak mahasiswa PPL yang baru tiba dan akan mulai mengajar hari ini.

Cowok bersergam putih abu-abu yang namanya disebut langsung menegakkan berdirinya sambil tersenyum sampai matanya menyipit seperti garis, sebelum kemudian ia terkekeh, "Maap, maap."

"Kamu simpan itu papan skatenya!" suruh Pak Yunus tak mau kehilangan wibawa sebagai kepala sekolah. "Aturan siapa boleh memainkan skateboard di sekolah?"

"Iya, iyaaa. Ya Allah," kata Reza malas diceramahi.

"Sudah, sana pergi kamu!" Setelah medapat usiran, Reza mengibaskan rambutnya yang jatuh menutupi alis mata dengan satu gerakan sebelum berlari kecil ke arah kantin dengan papan skate yang ia tenteng di tangan kiri. "Nah, Mas Nigel, ruangan ini nantinya akan jadi base camp untuk Mas Nigel dan teman-teman mahasiswa PPL selama magang di SMA Wijaya Kusuma."

Setelah siswa pembuat onar itu menghilang di balik tembok, Pak Yunus kembali melanjutkan ucapannya yang tadi sempat terjeda. Sementara mahasiswa PPL yang lain langsung melesak masuk dan mulai meletakkan peralatan mengajar mereka di meja yang sudah disediakan.

"Terima kasih, Pak!" Lelaki berjas almamater yang bagian tangannya digulung sampai siku dengan celana warna hitam itu tersenyum ramah. Menyembunyikan rasa nyeri yang lamat-lamat terasa di punggungnya karena ulah Reza tadi. Nigel lalu mengulurkan tangan sebagai tanda hormatnya pada Pak Yunus. "Saya senang bisa magang di sekolah ini."

"Sama-sama," Pak Yunus menjabat tangan Nigel sebagai perwakilan mahasiswa PPL. "Saya juga minta maaf tadi kalau siswa saya ada yang–"

"Iya, iya, nggak apa-apa, Pak. Nggak sengaja juga." Nigel menyela. Sedikit tidak sopan memang. Tapi ya sudah lah, sudah terlanjur karena ia tiba-tiba reflek menjawab begitu.

"Saya tinggal ke luar sekolah dulu kalau begitu?"

"Oh silakan, Pak."

***

"Eh cewek tadi namanya siapa, ya?" tanya Nigel seraya meletakkan tas ransel yang ia bawa ke atas meja yang letaknya paling dekat dengan pintu. Siska langsung menoleh begitu teman sekampusnya mengajukan pertanyaan.

Mata perempuan dengan ikat rambut putih itu menyipit, "cewek yang mana?"

"Yang tadi di parkiran,"

StardustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang