Ini masih pukul 11 siang. Warung mi ayam di dekat mini market komplek perumahan memang masih menjadi tempat andalan yang dipilih Reza dan Naya untuk mengisi perut setelah Reza memutuskan menjemput Naya di depan gerbang sekolah setengah jam yang lalu.
Untungnya, siang ini warung mi ayam Bang Udin tergolong tidak ramai. Yang ada di warung dengan tenda putih yang sudah koyak di beberapa sisi itu hanya Naya, Reza serta dua orang bapak-bapak yang sepertinya baru mendapat istirahat jam makan siang dari tempat kerja mereka.
Seharusnya, Naya belum pulang dari sekolah. Tapi untuk alasan tertentu, ia memutuskan pulang lebih dulu walaupun Reza sudah melarangnya.
Naya sejak tadi tidak banyak bicara. Setelah meminta surat izin dari sekolah dan mendapat pertanyaan dari Sekar, Naya akhirnya beralasan bahwa Bunda Ria minta ditemani check up jantung ke rumah sakit. Dan untungnya pihak sekolah dan Sekar langsung percaya begitu saja.
Reza baru saja menyuapkan gulungan mi ayam ke dalam mulut dengan garpu karena anak lelaki itu tidak bisa memakai sumpit. Tatapannya masih terpancang pada anak perempuan berseragam putih abu-abu di yang duduk berhadapan dengan sepasang sumpit di tangan kanan bersiap menyuapkan mi ke mulut, yang ditatap pura-pura menundukkan kepala tanpa berani menatap Reza.
"Gue tau lo lagi nggak mau liat gue," kata Reza pelan. Membiarkan mereka berdua saja yang bisa mendengar suara itu. "Makasih ya, udah di sini buat gue."
Naya mengangkat wajahnya sekilas lalu tersenyum sebagai jawaban, anak perempuan itu tidak tahu harus bagaimana ia bersikap di depan Reza saat ini. Apa lagi setelah Reza memutuskan memacari Sekar, apa lagi setelah Naya baru saja secara tersurat mengakui bahwa dirinya jatuh cinta pada anak lelaki itu.
"Nay," kata Reza pelan. Ia meletakkan garpunya ke mangkok dan menyentuh tangan kiri Naya yang tidak memegang apa-apa. "Lo marah sama gue?"
Naya menarik tangannya yang digenggam Reza lalu berpura-pura meraih sendok yang ada di mangkoknya, "Ini salah, Za."
"Apa yang salah?"
Naya mengangkat wajahnya, lalu menatap wajah Reza lekat-lekat, "Gue salah. Karena sekarang lo pacar Sekar."
"Iya gue pacar Sekar, terus kenapa?"
"Maafin gue," kata Naya parau. Ia menalan ludahnya.
"Gue nggak tau lo minta maaf buat apa, salah lo di mana gue juga bingung. Gue–"
"Semua salah. Semua yang gue tulis di kado itu salah. Gue salah karena nggak seharusnya gue ngasih itu pas lo udah jadian sama orang lain. Gue salah karena suka sama pacar sahabat gue sendiri. Gue salah karena gue ngerasa jahat banget sama Sekar sekarang."
Reza memerhatikan perempuan di depannya yang berbicara dengan napas saling memburu dan bahu yang bergerak naik turun menahan luapan emosi di dalam rongga dadanya sendiri, "Gue salah karena gue sayang sama lo lebih dari yang seharusnya, Za."
Reza menelan ludah, lalu ia mengedipkan mata dua kali, "Menurut lo itu salah?"
"Iya." Naya menghirup napas dalam-dalam lalu mengalihkan tatapannya ke arah atas agar air matanya tidak menetes. Kemudian ia tersenyum pahit.
"Berarti dari dulu gue salah," ujar Reza. "Dan salah gue lebih besar dari salah lo."
"Jangan bikin gue nangis di sini,"
"Karena gue punya lebih dari lima puluh dua alasan yang bikin gue jatuh cinta sama lo jauh sebelum lo nyadar kalo lo juga ngerasain itu."
Naya menatap lawan bicaranya, matanya sudah berkaca. Lalu sebelum air matanya jatuh, anak perempuan itu lebih dulu menyeka air matanya dengan punggung tangan kiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stardust
Novela Juvenil#21 in Teen Fiction (31/01/2018) "Apapun akhir cerita yang kita punya, bagaimanapun akhir yang kita ciptakan nanti, aku ingin kamu tahu satu hal. Tidak semua pertanyaan mempunyai jawaban. Dan kita, mungkin adalah salah satu diantaranya," kata Naya s...