Naya memandangi ponselnya sejak 2 menit yang lalu. Setelahnya ia memasukkan benda itu ke saku kemeja seragam putih abu-abunya lagi setelah tidak menemukan pemberitahuan apapun dari ponselnya.
Ini sudah hari Senin. Dan ini adalah hari ketiga Reza tidak memberi kabar apapun padanya. Tidak ada dering telepon berisik dari Reza, tidak ada videocall di malam larut saat Naya tidak bisa tertidur, dan tidak ada juga pesan-pesan singkat yang menyebalkan dari Reza.
Naya pikir, Reza butuh waktu sendiri. Jadi ia berusaha tidak mendatangi rumah Reza di hari Sabtu dan Minggu kemarin. Kemudian Naya berharap Reza akan menghubunginya di Senin pagi untuk berangkat sekolah bersama. Tetapi nyatanya, sampai anak perempuan itu sudah berdiri di barisan peserta upacara bendera, Reza belum juga menghubunginya.
Kata-kata "I'll chat you later" yang dua hari lalu dikirimkan Reza terakhir kali sebelum ia menghilang benar-benar seperti debu yang tertiup angin lalu hilang begitu saja.
Anak laki-laki itu juga belum terlihat di kawasan sekolah.
"Baaagi Indonesia meeeeeer....deeeee...kaaaaaa..." Lagu Mengheningkan Cipta baru saja selesai dinyanyikan secara bersamaan oleh seluruh orang yang ikut berbaris di lapangan upacara SMA Wijaya Kusuma. Naya menghela napas begitu tahu acara selanjutnya adalah amanat pembina upacara yang tidak lain dan tidak bukan adalah Pak Yunus.
"Selamat pagi,"
"PAGI PAAAAK.."
"Salam sejahtera bagi kita semua," Pak Yunus memulai pidatonya. "Pada hari Senin yang cerah ini, saya hanya akan menyampaikan sedikit amanat untuk seluruh siswa-siswi, bapak dan ibu guru, serta karyawan SMA Wijaya Kusuma."
"Pegel anjir," suara Fahmi dari arah belakang terdengar. Laki-laki itu menyeka keringat dipelipisnya dengan punggung tangan.
"Hari ini, adalah hari penarikan kakak-kakak mahasiswa PKL. Oleh karena itu, akan diadakan pelepasan dari pihak sekolah. Sebelumnya, saya selaku kepala sekolah ingin mengucapkan banyak terima kasih karena selama kurang lebih dua bulan ini kakak-kakak mahasiswa PKL sudah bersedia membantu kami mengajari siswa dan siswi di SMA Wijaya Kusuma."
Naya menjilat bibirnya yang terasa kering, lalu ia melongokkan kepala untuk melihat Pak Yunus yang berdiri di depan microphone.
"Yang kedua, saya mengucapkan permohonan maaf sebesar-besarnya pada para mahasiswa terutama Mas Nigel atas kejadian hari Jumat kemarin." Ada jeda. "Dan sekaligus mengumumkan bahwa siswa yang bermasalah itu sudah resmi kami keluarkan dari sekolah."
Jantung Naya rasanya copot hingga ke perut begitu mendengar pengumuman yang disampaikan oleh kepala sekolah itu. Tidak seharusnya beliau membicarakan keputusannya mengeluarkan Reza dari sekolah di saat seperti ini.
Suasana mendadak berubah menjadi kacau. Para siswa mulai sibuk berbisik-bisik untuk mendiskusikan keputusan sekolah untuk mengeluarkan Reza. Sebagian merasa kurang suka dengan cara Pak Yunus, sebagian lagi terkejut dan tidak menyangka, sisanya merasa bersyukur karena satu siswa yang sulit diatur sudah angkat kaki dari sekolah mereka.
"Nay, Reza–" Suara Sekar yang berdiri tepat di sebelah Naya rasanya hanya seperti gema di sebuah tebing curam. Naya tidak lagi bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan teman-temannya. Yang ada di pikiran anak perempuan itu hanya satu.
Ia ingin bertemu Reza.
***
Reza mengernyitkan alis mata saat melihat gerbang rumahnya tidak tertutup sempurna. Anak laki-laki yang hari ini menggunakan kemeja flannel warna hitam bercampur abu-abu yang tidak dikancingkan sehingga kaos hitamnya terlihat itu kemudian melangkah masuk ke rumah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stardust
Novela Juvenil#21 in Teen Fiction (31/01/2018) "Apapun akhir cerita yang kita punya, bagaimanapun akhir yang kita ciptakan nanti, aku ingin kamu tahu satu hal. Tidak semua pertanyaan mempunyai jawaban. Dan kita, mungkin adalah salah satu diantaranya," kata Naya s...