Rintik hujan mulai berjatuhan dari langit. Naya berkali-kali mengadahkan kepalanya untuk melihat seberapa pekat atap dunia buatan Tuhan sore ini. Dan ternyata, mendung masih terlihat dengan jelas pertanda hujan belum akan usai. Kemudian, anak perempuan itu menghela napas. Matanya beralih menatap semangkok mi ayam di hadapannya.
"Ngapain ngeliatin luar terus?" tanya Nigel sebelum melanjutkan aktivitas makannya dengan memasukkan gulungan mi ke dalam mulut.
Naya mengangkat kepalanya sedikit sampai ia bisa melihat wajah Nigel, kemudian tersenyum canggung. "Nggak apa-apa."
"Pengen buru-buru pulang?" tanya Nigel spontan. Dan Naya hanya menjawab dengan anggukan. "Bentar lagi juga reda."
"Iya."
"Yaudah," kata Nigel. "makan aja dulu."
Naya diam saja. Tangan kanannya bergerak lemas meraih sepasang garpu, sedang yang kiri masih memegang sendok. Pikirannya masih berjalan kesana-kemari. Apalagi sejak ia dan Reza berpapasan di perempatan jalan tadi. Naya hanya bisa menerka-nerka, dimana pacarnya itu saat ini? Sedang apa dia? Apakah Reza masih berdua dengan Saras di suatu tempat yang Naya tidak tahu?
"Ngelamun lagi, ngelamun lagi. Kenapa sih, lo?" tanya Nigel mengejutkannya.
"A-" Mulut Naya menganga. Tidak tahu mau menjawab apa. "Nggak apa-apa, sih."
"Mikirin apa, sih?"
"Bukan apa-apa."
"Mikirin gue?" tanya Nigel bercanda sambil terkekeh. Lalu Naya reflek mengangkat bahu seolah tak peduli.
"Ya kali."
"Reza?" tebaknya kemudian.
Naya diam saja. ia lalu memasukkan mi ayamnya ke mulut dan mulai mengunyah. Membiarkan pertanyaan nigel menguap begitu saja.
"Gue tuh paham kok kalo lo lagi galau," celetuk Nigel tiba-tiba. "Yah, tapi gimana. Udah resiko. Pacaran sama berondong itu makan hati."
Alis mata Naya mengernyit. "Maksudnya?"
"Maksud gue..." Nigel berhenti bicara karena ia sudah terlanjur memasukkan sedotan ke dalam mulut dan mulai minum. "Pacaran sama bocah itu emang kayak gitu," sambungnya setelah sedotan itu terlepas dari bibirnya.
"Nggak juga sih, kak," bantah Naya. "Gue sih nggak merasa begitu. Gue cuma lagi kepikiran aja. Karena gue lagi di sini sama lo, dan gue nggak tau cowok gue ada dimana karena HP gue lowbat, padahal harusnya gue masih di depan sekolah nunggu dia jemput gue. Dan sekarang.. Gue cuma merasa..." Naya diam, "khawatir."
Nigel tidak bicara apa-apa lagi selain tersenyum simpul. Dua orang yang duduk pada satu meja itu sama-sama diam dan sibuk dengan mangkok mi ayam mereka sendiri-sendiri. Sampai Nigel kembali bicara.
"Lo tau nggak kenapa gue sama Anis putus?" tanyanya pada Naya. Naya reflek mengangkat alis matanya karena apa yang diucapkan Nigel justru keluar dari topik pembicaraan sebelumnya.
Tetapi, tiga detik kemudian Naya menggeleng. "Nggak."
Nigel menghela napasnya. "Karena gue udah nggak bahagia sama dia."
"Bull," kekeh Naya tak percaya begitu saja. "Tapi kan lo berdua udah tunangan, jadi artinya masih ada kemungkinan buat-"
"Enggak," potong Nigel. "Gue nyaman sama orang lain."
Naya mengangkat alis matanya setengah heran, sertangahnya lagi karena rasa tidak percaya. "Secepet dan segampang itu?"
"Orang lainnya itu lo." Nigel akhirnya betul-betul mengungkapkan apa yang selama ini ada di dalam kepalanya. Dan dua detik setelahnya, Naya hanya bisa mematung. Cewek itu tertegun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stardust
Fiksi Remaja#21 in Teen Fiction (31/01/2018) "Apapun akhir cerita yang kita punya, bagaimanapun akhir yang kita ciptakan nanti, aku ingin kamu tahu satu hal. Tidak semua pertanyaan mempunyai jawaban. Dan kita, mungkin adalah salah satu diantaranya," kata Naya s...