Jam dinding yang menempel di kamar rawat inap Bunda Ria masih terus berdetak ke arah kanan. Waktu menunjukkan pukul setengah dua pagi. Dan sialnya, hari ini Reza masih tidak bisa memejamkan mata. Sementara itu, di sofa sudah ada Naya yang tertidur pulas sejak dua jam yang lalu.
Anak lelaki itu bergeming. Menatap jalanan depan rumah sakit yang sudah lenggang malam ini. Tirai jendela sengaja ia singkap dengan tangan kiri sementara tangan kanannya sibuk menyisir rambut dengan jemari sebelum akhirnya ia menghela napas.
Akhir-akhir ini, semua terasa berat untuk Reza. Banyak hal yang menyita perhatian dan pikirannya. Apalagi soal kemarin sore selepas latihan futsal. Saat itu, ponselnya yang ia letakkan di tepi tempat tidur menyala. Sebuah nama terpampang dari pemberitahuan panggilan masuk.
Papa.
Reza diam di tempat. Sungguh saat itu ia tidak tahu apakah ia harus mengangkat panggilan itu atau tidak? Tapi akhirnya, rasa tidak pedulinya pada sang ayah lah yang mengalah. Laki-laki itu memutuskan mengangkat panggilan dari ayahnya.
"Mau sampai kapan kamu begini sama Papa?" Pertanyaan itu masih terekam jelas di ingatan Reza. Anak lelaki yang masih memakai jersey futsalnya masih terdiam untuk menanti ucapan Papa Rio selanjutnya.
"Cepat atau lambat, papa akan ke Indonesia untuk menjemput kamu."
"Aku mau tinggal sendiri. Kalau papa balik ke sini dan mau tinggal di rumah, aku yang keluar." Papa Rio diam. Ia tidak pernah menyangka bahwa keputusannya untuk meninggalkan istrinya dan Reza betul-betul membekaskan luka di hati jagoan kecilnya.
"Mau sampai kapan kita begini?" tanya Papa Rio kemudian.
"Aku capek, Pa. Mau mandi." Reza berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Papa belum selesai." Reza menghela napas, ia berulang kali menelan ludahnya sendiri. "Papa mau kamu lanjutkan kuliahmu di sini."
Reza mengangguk reflek. "Nggak janji."
"Reza–"
"Reza?" tepukan pada bahunya membuat Reza sontak membuka kelopak matanya. Perlahan ia lihat kembali pemandangan jalanan depan rumah sakit sebelum akhirnya ia menoleh dan mendapati Naya sudah berdiri di sampingnya sambil mengusap mata. "Tidur, peleh!"
Reza tidak menyahut apa-apa. Tapi bibirnya melengkung melukis senyuman. Kemudian ia membalikkan badan, menghadap ke arah Naya sebelum tanpa aba-aba membenamkan tubuh perempuan yang masih berusaha mengumpulkan nyawa ke dalam pelukannya.
"Za?" kata Naya nyaris tak terdengar. Mata perempuan itu tanpa sadar menyipit dan entah sejak kapan, Naya seolah mendapat sengatan listrik yang membuat kesadarannya langsung kembali secara utuh saat lengan Reza melingkari tubuhnya. "Kenapa?"
Yang ditanya masih bungkam. Tidak mengatakan barang sepatah kata yang bisa membuat Naya paham dengan apa yang salah malam ini? Sehingga Reza yang ia tahu begitu kuat terlihat sangat lemah dan kecil saat mendekapnya. "Gue gemes sama lo."
Tangan Naya melingkari pinggang Reza. Ucapan Reza sudah terdengar sejak dua detik yang lalu. Tapi Naya sedang tidak ingin diajak bercanda. Lagipula, anak perempuan itu tidak yakin bahwa apa yang dikatakan Reza padanya adalah apa yang memang ingin ia katakan dan sedang dirasakan sahabatnya.
"Hey," ucap Naya pelan seraya melepas pelukannya dan menyentuh kedua bahu Reza penuh penekanan. "Gue nggak tau lo kenapa, dan gue nggak akan pernah maksa lo buat cerita apa-apa, at least, sampe lo sendiri yang mau berbagi sama gue. Tapi, gue cuma mau ngingetin satu hal sama lo, Novreza Syafar Alfalah. Whenever and wherever you need a shoulder to cry on, you can hit me up. And I swear, I'll be there."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stardust
Teen Fiction#21 in Teen Fiction (31/01/2018) "Apapun akhir cerita yang kita punya, bagaimanapun akhir yang kita ciptakan nanti, aku ingin kamu tahu satu hal. Tidak semua pertanyaan mempunyai jawaban. Dan kita, mungkin adalah salah satu diantaranya," kata Naya s...