[EPILOG]

5.4K 413 96
                                    

Reza mundur beberapa langkah hingga punggungnya menyentuh tembok dengan warna krem yang ada di belakanganya. Dokter dan beberapa perawat sibuk dengan tugas mereka masing-masing, akan tetapi dengan tujuan yang sama. Berusaha semaksimal mungkin untuk memperjuangkan hidup seseorang yang sangat berarti bagi Reza dan juga bagi Naya.

Kepanikan yang terjadi diruangan itu rasanya membuat Reza semakin merasa kehilangan arah dan pijakan. Ia tidak bisa berkedip sejak beberapa detik yang lalu. Matanya berkaca, hidungnya juga memerah.

Ia tidak tahu bagaimana caranya untuk memberitahu Naya tentang semua ini.

"Tensi, tensi!" teriak dokter mulai panik sebab upaya yang ia lakukan dengan memacu jantung bunda belum membuahkan hasil. Perawat segera melakukan apa yang diperintahkan. Berusaha mencari tahu tekanan darah bunda. Akan tetapi, perawat itu menggelengkan kepala, ia tak dapat menemukan berapa tekanan darah bunda.

Sebab detak nadi itu sudah tidak ada.

Reza beku di tempatnya. Terlebih saat dokter menghampiri dirinya. Merengkuhnya dan mengatakan bahwa Bunda sudah pergi untuk selamanya.

Cowok itu jatuh di lantai. Tangannya masih menggenggam kertas di tangan kanan. Reza menangis sejadi-jadinya. Ia tidak bisa membayangkan sehancur apa Naya saat nantinya ia akan menyampaikan kabar ini padanya.

Reza kemudian menyandarkan punggungnya yang seolah memikul beban berat ke dinding ruangan. Matanya terpejam lima detik sampai kemudian tatapannya terfokus pada kertas yang sejak tadi ia genggam erat-erat.

Mata Reza menyipit begitu saat melihat apa yang tertulis di pojok kanan atas kertas itu.

Jakarta, 4 November 2009

Surat itu ditulis, tepat satu minggu sebelum Bunda akhirnya meninggal dunia.

***

Reza berjalan gontai, ruangan kamar Naya tinggal beberapa meter lagi di depannya dan semakin ia mendekat, langkah kakinya semakin berat.

Banyak sekali hal yang harus dipertanggung jawabkan.

Wajah Reza masih basah oleh air mata. Cowok itu memperlampat gerak kakinya saat jaraknya dengan ambang pintu ruang tempat Naya dirawat tinggal sejengkal lagi. Reza menarik napas panjang, mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin agar memenuhi seluruh rongga dada.

"Za?" Suara Naya samar-samar dari dalam kamar membuat Reza terkesiap. Ia buru-buru menghapus air matanya dengan lengan yang tertutup kemeja flannel warna abu-abu. "Kok nggak masuk?"

Lima detik setelah Naya bertanya, Reza akhirnya memberanikan dirinya untuk masuk. Sampai Naya bisa melihat mata lebam laki-laki itu.

Sudah lama Naya tidak melihat Reza menangis. Terakhir kali melihat cowok itu menangis adalah saat mereka masih sekolah. Dan tangisan itu untuk Naya.

"Kenapa?" tanya Naya khawatir.

Reza seperti enggan mendekat dan bicara. Tapi ia mengurungkan niatnya karena Naya juga berhak tahu. Reza kemudian mempersempit jarak, sebelum memeluk erat-erat perempuan yang ia cintai satu-satunya.

Bahu Reza naik turun. Isaknya terdengar memenuhi penjuru ruang tempat Naya duduk di atas tempat tidur. Naya tidak ingat kapan Reza terlihat sedemikian sedih hingga memeluknya sambil terisak.

Cewek itu tiba-tiba diselimuti awan kelabu, dada Naya ikut sesak dan tangisannya meleleh membasahi pipi. Walaupun ia belum tahu apa yang membuat Reza sesedih ini, tapi hanya dengan melihat laki-laki itu terluka, Naya ikut merasakan pedihnya.

"Kenapa?" tanya Naya nyaris tak terdengar. "Za, kenapa?!"

"Bunda,"

StardustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang