Reza menggenggam tangan perempuan yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kepala cewek itu diperban sedemikian rupa setelah setengah jam yang lalu mendapat perawatan di IGD. Mata Reza menatap sendu kearah kelopak mata Naya yang tertutup rapat tetapi sesekali terbuka dan membuat gadis itu tersenyum simpul. Tapi perasaan Reza kalut sekali. Mungkin hal itu juga dirasakan oleh Naya.
Dokter berkata banyak hal sepasang kekasih itu sebelum Naya dipindahkan di ruang rawat inap.
Kondisi Naya yang lemah dan luka-luka membuat Reza seolah mati rasa dan mengabaikan seluruh rasa nyeri yang juga mendera tubuhnya akibat kecelakaan dihari yang sama. Ngilunya bukan lagi prioritas utama. Kini yang ada dalam kepala hanya dua nama, Naya dan Bunda Ria.
Bagaimanapun juga, Bunda Ria sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya. Terlebih, sejak bayi, Reza tidak pernah melihat wajah ibu kandungnya sama sekali. Mama Veni disebut meninggal saat Reza masih sangat kecil. Rasa cinta Reza untuk perempuan itu tak kalah besar dari rasa cintanya untuk Naya, gadis yang sejak kecil sudah ada di kehidupannya.
Reza menggenggam erat genggaman tangannya dengan tangan Naya, seolah ingin menyalurkan energi yang ia punya agar kondisi Naya lekas pulih. Sebab, ini tidak hanya menyangkut nyawa kekasihnya itu.
Tetapi, ini juga perihal kelangsungan hidup mahkluk lain yang bahkan belum sempat melihat dunia.
"Kecelakaan yang dialami oleh Naya, bisa menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada kehamilan—"
"Apa?" tanya Reza seolah ia baru saja mendengar informasi yang kurang jelas.
"Hamil?"
Naya langsung menyambung pertanyaan singkat Reza dengan cepat. Melihat reaksi yang ditunjukkan oleh Reza dan Naya, Dokter Lisa yang bertugas siang itu langsung menyipitkan mata.
Kemudian, wanita dengan jas putih itu mentapa dua orang itu bergantian, "Jadi? Anda berdua belum tau kalau saat ini, Naya sedang dalam keadaan hamil?"
Reza terpaku di tempatnya. Sama hal nya Naya. Bibirnya seolah dijahit rapat sampai ia tidak bisa berkata apa-apa, bahkan untuk menangis pun rasanya sulit sekali.
Mereka bahkan tidak pernah tahu bahwa Naya sedang mengandung. Naya hanya merasa tubuhnya mudah lelah akhir-akhir ini dan mulai merasa mual. Tetapi, Naya mengira ini hanya soal masuk angin biasa.
Rasanya bagai tersambar petir di siang bolong. Reza dan Naya saling berpandangan, nyaris tak percaya dengan apa yang mereka dengar.
"Usia kehamilan sudah empat minggu," kata Dokter Lisa lagi. Membuat perasaan Reza semakin kalut. Sama kalutnya dengan yang dirasakan Naya. "Saya cuma bisa pesan, tolong lebih berhati-hati, karena kehamilan usia muda akan lebih rentan untuk mengalami keguguran."
Reza menatap Naya lagi setelah menunduk beberapa saat. Laki-laki itu kemudian mencium punggung tangan perempuan yang sudah nyaris empat tahun ia pacari itu.
Diluar dugaan, Naya menangis.
Entah apa makna tangisannya, tapi yang jelas, Reza khawatir.
"Gue pasti tanggung jawab," kata Reza pelan, tetapi mantap. Ia mempererat genggaman tangannya. "Gue nggak akan lari masalah ini."
"Tapi, Bunda—"
Tangan kiri Reza kemudian bergerak naik dan menyentuh pipi Naya pelan. "Nanti kita ngomong ke Bunda baik-baik. Kita hadapin ini sama-sama, okay?"
"Gimana kalo anak ini kenapa-napa, Za."
"Enggak," Reza menggeleng. "Dia baik-baik aja selama lo juga nggak terlalu banyak beban pikiran."

KAMU SEDANG MEMBACA
Stardust
Ficção Adolescente#21 in Teen Fiction (31/01/2018) "Apapun akhir cerita yang kita punya, bagaimanapun akhir yang kita ciptakan nanti, aku ingin kamu tahu satu hal. Tidak semua pertanyaan mempunyai jawaban. Dan kita, mungkin adalah salah satu diantaranya," kata Naya s...