Chapter 10

261 29 2
                                    

        Seorang laki-laki membawa mobilnya dengan kecepatan penuh, emosinya tidak bisa terkendali ia sedang marah. Marah pada dirinya sendiri, marah pada keluarganya, marah pada jalan kehidupannya yang selalu penuh dengan luka.

Kehidupannya berubah dalam satu malam, semuanya telah hilang dalam hidupnya, ia bagaikan terkurung dalam penjara penuh dengan penderitaan yang menyiksa dirinya.

Sekarang dirinya bagaikan es batu yang membeku tanpa tersentuh oleh siapapun. Dingin, tidak dapat satupun orang yang bisa mencairkan sifat dinginnya menjadi hangat.

Dengan emosi yang menggebu-gebu ia melajukan mobilnya diatas rata-rata hingga dari arah berlawanan ada sebuah truk juga yang ingin melaju. Karena mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi ia membelokkan stir mobilnya hingga membentur pepohonan.

Kepalanya membentur stir mobil dengan kuat, hingga keningnya mengeluarkan darah segar. Darah itu terus mengalir, semakin lama semakin banyak hingga kepala laki-laki itu menjadi pusing. Perlahan pandangannya mengabur hingga gradasi blur tercipta dan seketika padangannya menggelap.

Dava yang baru saja pulang dari rumah Bagas melihat sebuah mobil tertubruk pohon yang ada dipinggiran jalan. Dava menghampiri mobil tersebut.

Sontak ia terkejut dengan pengendara mobil itu yang sudah tidak sadarkan diri serta banyak darah yang menetes di pelipisnya. Dava mengeluarkan pengendara itu dari mobilnya dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

***

       Perlahan kelopak mata lelaki itu terbuka, yang pertama kali ia lihat adalah dinding langit-langit ruangan yang bercat warna putih. Ruangan itu serba putih serta bau obat-obatan menusuk indra penciumannya.

Kepalanya sangat pusing, ia memegangi kepalanya yang sudah terbungkus oleh perban, ia ingat bahwa tadi mobilnya menabrak pohon dijalanan dan setelahnya ia tidak sadarkan diri lalu, siapa yang membawanya ke rumah sakit ini?

Pintu ruangan itu terbuka dan menampilkan sosok lelaki yang kurang lebih seumuran dengannya. Lelaki itu tersenyum ramah lalu, menghampirinya yang tengah terbaring dibrangkar rumah sakit.

"Gimana keadaan lo? Ada yang sakit?" tanya Dava pada lelaki itu.

"Udah baikan, lo yang bawa gue kesini?" tanyanya yang dibalas anggukan oleh Dava.

"Thanks udah nolongin gue"

"Santai aja, anggap aja ini balas budi gue karena lo kemaren udah nolongin Shilla"

"Gue nolongin pacar lo karena gue gak mau nasib pacar lo sama kayak adik gue"

"Maksud lo? Oh ya, Shilla bukan pacar gue, dia sahabat gue" Dava mulai tidak mengerti dengan arah pembicaraan Raka.

"Adik gue meninggal karena dia diperkosa sama preman dan dia dibunuh sama preman-preman itu" pikiran Raka menerawang tentang kejadian beberapa bulan yang lalu.

"Gue merasa gue gagal jadi kakak yang baik buat dia. Makanya gue gak suka setiap kali gue ngeliat cowok yang kurang ajar sama perempuan"

"Apa lo tadi sengaja nabrakin mobil lo ke pohon?" tanya Dava penasaran.

"Iya, gue tadi juga berharap kalo gue mati aja, tapi lo malah nolongin gue" katanya tertawa sumbang.

"Gila lo! Ngapain lo coba bunuh diri dengan cara kampungan, mendingan lo terjun dari atas jurang sekalian biar langsung mati ditempat" jawab Dava ikut tersulut emosi.

"Lo tau? Hidup gue udah gak ada apa-apanya. Udah gak berarti, makanya gue ngelakuin hal gila biar mati"

"Setiap masalah gak harus lo selesain dengan bunuh diri. Gue juga pernah ngerasain yang namanya kehilangan, tapi gue gak setolol itu buat ikutan mati juga"

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang