Detik demi detik jarum jam bergerak membiarkan waktu terus bergulir semakin larut malam, sementara itu Shilla sama sekali enggan untuk tertidur. Matanya masih tetap ingin terbuka.
Jemarinya dengan lihai menari-nari diatas keyboard laptopnya, ia merangkai kata demi kata menjadi bait-bait puisi yang sangat indah. Ia sangat suka dunia sastra, ia sangat suka dunia yang berhubungan dengan imajinasi seperti, membuat puisi contohnya.
Disaat sedang dalam keadaan sunyi, Shilla selalu suka menuangkan fantasinya kedalam sebuah tulisan, baik itu berbentuk puisi, sajak, maupun cerpen.
Awalnya Shilla ingin masuk kelas sastra di sekolahnya, tapi karena kelas sastra banyak peminatnya jadi, ia harus tersingkir dari kelas itu dan memilih jurusan Ipa yang ia juga sukai karena berbau ke dokteran. Sebab cita-cita Shilla adalah ingin menjadi seorang dokter.
Tiba-tiba kepala Shilla terasa sakit bahkan, lebih sakit dari yang kemarin ia rasakan. Shilla tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini kepalanya selalu sakit seperti ini, rasa sakitnya akan hilang, tetapi akan kembali hadir lagi nanti.
Shilla memutuskan untuk menutup laptopnya dan merebahkan tubuhnya di queen size miliknya untuk meredakan rasa sakit di kepalanya agar tidak terasa nyeri lagi. Perlahan mata Shilla terpejam seiring dengan rasa sakit di kepalanya yang mulai menghilang.
***
Sinar matahari berhasil menelusup ke celah-celah jendela kamar Shilla, silaunya matahari menembus permukaan kulit wajah gadis itu hingga ia harus membuka matanya yang awalnya terpejam. Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Hari ini adalah hari libur yang Shilla selalu habiskan untuk tidur di kasur empuknya. Hanya hari liburlah yang bisa Shilla manfaatkan untuk bermalas-malasan di kamar seharian.
Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan pintu membuatnya menoleh kearah pintu kamarnya. Shilla beranjak bangun dari tempat tidur dan membukakan pintu kamarnya.
Ternyata Eva--Mama Shillalah yang mengetuk pintu kamarnya.
"Eh, udah bangun? Mama kira kamu masih tidur." kata Eva yang melihat anaknya sudah bangun tidak seperti biasanya.
"Udah Ma, kenapa Ma?"
"Ayo turun, kita sarapan dulu." ajak Eva yang diangguki kepala oleh Shilla.
"Iya, Shilla cuci muka dulu, Mama duluan aja nanti Shilla ke bawah." Eva tersenyum.
"Yaudah, jangan lama-lama." kemudian Eva pergi meninggalkan Shilla yang menuju kamar mandi.
Shilla bercermin di kaca wastafelnya setelah usai mencuci muka, ia mengeringkan wajahnya dengan handuk kecil di samping cermin. Pandangannya jatuh kepada lengannya yang tampak memar. Ia mengernyitkan dahi bingung. Mengapa lengannya bisa memar seperti ini? Padahal ia tidak terjatuh atau apapun itu.
"Kok memar gini sih?" Shilla menekan-nekan lengannya.
"Aww, ini kenapa lagi? Perasaan gue nggak jatuh deh?" Shilla meringis saat lukanya terasa nyeri.
Shilla berjalan ke lemari pakaiannya dan mengambil baju berlengan panjang agar bisa menutupi luka memar yang ada di lengannya, karena jika luka itu terlihat oleh orang tuannya ia akan dihujani banyak pertanyaan oleh kedua orang tuanya.
Setelah itu Shilla turun ke bawah untuk ikut sarapan pagi bersama.
"Pagi." sapa Shilla ceria seperti biasa dan duduk disamping Eva.
"Pagi sayang." balas kedua orangtuanya.
Shilla duduk sambil makan dengan tenang, suasana damai seperti ini yang selalu ia rasakan dan tidak akan pernah hilang meskipun Papanya bekerja dan selalu pulang malam, kadang Papanya juga pergi keluar kota atau Negeri, tetapi Papanya tidak pernah melewatkan moment bahagia keluarganya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Novela JuvenilDandelion tidak secantik mawar, tidak seindah lili, dan tidak seabadi edelwis tetapi, Dandelion adalah bunga yg kuat. Dandelion terlihat rapuh tetapi, begitu kuat, begitu berani. Berani menentang sang angin, terbang tinggi begitu tinggi. Menjelajah...