Epilog

401 22 8
                                    

       Seorang cowok berkulit bersih, bertubuh tinggi masih saja setia berjongkok di depan batu nisan serta gundukan tanah yg masih basah—bahkan bunga diatas gundukan tanah itu masih terlihat segar.

       Sudah hampir dua jam lelaki itu berjongkok sambil menatap lekat pada nisan dihadapannya, tatapannya sendu—guratan kesedihan bercampur luka tergores di mata hitam legamnya.

       Ia tahu hidup tidak ada yg abadi tetapi, mengapa ia harus merasakan kehilangan untuk yg kedua kalinya? Disaat ia merasa bahagia mengapa harus Tuhan ambil kebahagiaannya? Salahkah ia merasakan bahagia dengan sahabatnya sendiri?

       Air mata yg kemarin malam ia tumpahkan kini kembali menetes, ia tidak kuat menahan tetasan bening itu agar tidak keluar—ia memang laki-laki tetapi, jika suatu keadaan memaksa menangis apa ia tidak boleh menangis? Terlalu sakit kehilangan seseorang yg sangat kita cintai, bahkan kita baru merasakan bahagia bersamanya sesaat.

       Cowok itu menghapus jejak air mata disudut matanya lalu, tersenyum menatap nisan bertuliskan nama seorang gadis; Shilla Adelia.

       "Aku pulang ya Shill, aku janji akan kesini setiap hari biar kamu gak kesepian disini" Dava mengusap lembut nisan itu lalu, bangkit.

       Ia tersenyum sekali lagi didepan kuburan Shilla, kemudian melangkahkan kakinya keluar pemakaman itu.

***

       Sebuah kotak berwarna coklat tua sedari tadi hanya Dava perhatikan tanpa berniat membukanya. Kotak itu adalah pemberian terakhir dari gadisnya yg sudah tiada. Ingin rasanya ia mengembalikan waktu dimana dirinya dan Shilla masih bisa bersama sambil tersenyum bahagia.

       Ingatannya kembali menerawang kejadian semalam sebelum Shilla benar-benar pergi meninggalkannya.

Flashback On

       Angin malam menerpa wajah gadis berambut hitam pekat sebawah bahu, rambut gadis itu terkibas kesamping membuat wajahnya terlihat damai tertiup angin. Awan yg semulanya hitam bertambah hitam, sepertinya awan ingin menangis malam ini bahkan bintangpun yg biasanya setia menemani malam—malam ini tidak hadir. Awan hitam semakin terlihat hitam keunguan pertanda mendung sudah mendatang.

       Gadis berambut sebawah bahu itu masih saja setia duduk diatas kursi rodanya, menikmati semilir angin yg menerpa wajahnya. Ia tahu awan ingin turun hujan tetapi, ia masih ingin merasakan sejuknya dunia serta damainya angin malam sebelum ia tidak bisa merasakan kehangatan itu lagi nantinya.

       Bukan ia pesimis dengan penyakitnya, namun rasanya janggal saja jika penyakitnya bisa disembuhkan bahkan meskipun penyakitnya bisa disembuhkan rasanya mustahil jika ia akan hidup selamanya. Ia percaya semua mahkluk hidup akan meninggalkan dunia, tidak ada yg abadi di dunia yg fana ini.

       Tangan seseorang terulur membelai rambutnya yg terkibas oleh angin malam, kepala gadis itu menoleh kebelakangnya memastikan siapa yg berada dibelakangnya saat ini.

       "Hei, masuk yuk! Mau hujan" ucap cowok yg berdiri dibelakangnya.

       Shilla tersenyum lalu, ia mengambil tangan cowok itu yg tak lain adalah Dava—digenggamnya tangan Dava seolah bisa menghangatkan raganya.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang