Deniz tidak mengalihkan tatapannya dari layar laptop saat ekor matanya menangkap Karan memasuki kantor dengan lunglai. Langkahnya terlihat berat saat menghampiri meja dan tanpa menyapa Deniz, dia langsung membanting tubuh di atas kursi hingga menimbulkan derit pelan. Karan langsung merebakan kepala di atas meja, membiarkan lengannya menutupi wajah, sedangkan tas punggungnya masih tersangkut di pundak.
"Are you okay?" Deniz akhirnya tidak tahan lagi saat Karan masih belum mengatakan apa pun dalam kurun waktu lima menit. "How did it go?"
Terdengar erangan pelan sebelum Karan mengakkan tubuhnya dan menatap Deniz. "Those kids were terrible. Ribut banget dan nggak tertarik sama sekali dengan presentasiku. Aku nggak tahu gimana Angie dan Louie bisa betah ada di sana. I almost lost my temper."
Tanggapan Deniz adalah sebuah gelak. Tangannya masih sibuk mengarahkan kursor di foto yang baru saja dia edit, mengamatinya sekali lagi, lalu dengan anggukan pelan, menyimpannya. "Setidaknya kamu tidak di sini tadi. Meeting with the staff was ... you know."
Karan mengangguk paham meski Deniz tidak melihatnya.
Meeting dengan staf inti OPS biasanya berlangsung satu jam, tetapi jika ada bahasan yang lebih serius—terutama jika OPS menjadi tuan rumah training course yang mengakomodasi puluhan anak muda dari beberapa negara Eropa—mereka bisa terjebak dalam kebosanan selama dua jam. Kali ini Karan berhasil lolos dari meeting yang tidak diragukannya membahas tentang training course bertema Art & Inclusion yang akan diselenggarakan bulan depan. Dia harus ke salah satu sekolah dasar untuk memberi presentasi mengenai Indonesia.
Salah satu program rutin OPS adalah pergi ke satu sekolah dasar yang berbeda setiap tahunnya untuk memperkenalkan para murid mengenai budaya asal para volunteer OPS. Sejak mendapatkan jadwal sebulan lalu, Karan menghabiskan hari-harinya menyusun presentasi tentang Indonesia yang bukan hanya informatif, tapi juga sederhana. Meringkas ratusan budaya Indonesia bukanlah hal mudah. Setelah dilanda frustasi karena bingung harus memulai dari mana, akhirnya Karan memutuskan mengambil satu budaya inti dari pulau-pulau utama Indonesia dan menceritakan legenda Malin Kundang, karena menurutnya legenda itu punya pesan moral yang kuat.
Meski Angie dan Louie memuji presentasinya, reaksi anak-anak yang terlalu riuh—bahkan tidak mampu menunjukkan letak Indonesia sekalipun tulisan Indonesia jelas terpampang pada peta yang dipasang oleh guru pendamping—membuat Karan tidak sabar segera kembali ke kantor dan merasa usahanya sia-sia. Dua kelas yang dihadirinya hari ini dan masih ada dua lagi minggu depan benar-benar menguras energi. Belum lagi laporan bulanan yang harus dia serahkan ke Global Movement—NGO tempat Zola bekerja dan juga yang mengirimnya ke Portugal—semakin membuat tingkat kemalasan Karan meningkat. Tidak ada kata santai selama beberapa hari ke depan.
Karan merasakan getaran ponsel yang sengaja ditaruhnya di dalam tas agar tidak memecah konsentrasinya tadi. Saat meraihnya, dia melihat Egil mengiriminya pesan singkat.
How did it go?
Don't tell me! I want to hear it in person
Want to go out for lunch and accompany me for some grocery shopping?
I've just finished my class
"Siapa? Egil?" tebak Deniz saat melihat Karan hanya menatap layar ponselnya tanpa berkedip.
"Dia ngajakin makan siang di luar," balas Karan sebelum meletakkan ponselnya dengan asal dan mengeluarkan laptop dari dalam tas. "Seberapa kaya sih Egil ini? Sampai bisa tinggal di Porto tanpa harus kerja dan sering keluar makan. It's not cheap eating out, you know," keluh Karan sambil menggeleng heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
AS TIME GOES BY
General Fiction[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. Atas campur tangan semesta, dunia mereka dipertemukan dalam sebuah penerbangan menuju Denpasar dari Kuala Lumpur. Tidak ada romansa yang menye...