Karan memandang jalanan di bawah kamar sembari sesekali menyesap bir yang dipegangnya. Matanya mengamati puncak bangunan apartemen di hadapan Blue Door yang masih disinari matahari meski teriknya sudah berkurang. Menikmati bir dingin, melepaskan pikiran untuk berkelana ditemani sepoi angin sore menjadi pilihannya.
Ketika Deniz membuka pintu dan mendapati Karan sedang duduk termenung di dekat jendela sembari memegang bir, langkahnya terhenti. Tidak ada ceramah tentang menutup pintu tanpa harus menggetarkan seisi Blue Door—Deniz seperti tidak sadar bahwa seringkali timbul suara cukup keras tiap kali dia menutup pintu. Meski kali ini pintu dibelakangnya dia tutup sepelan mungkin, tetap ada derit yang terdengar. Jika suara itu tidak mampu menarik perhatian Karan, dia yakin sahabatnya sedang mengembara jauh dengan pikirannya.
Dia berdeham demi memberitahu keberadaannya. "Aku perhatikan kamu punya hobi baru setelah kembali dari Lisbon."
"Hobi apa?" tanyanya tanpa sekalipun memalingkan wajah.
"Melamun."
Balasan yang diberikan Karan hanyalah kedikan bahu sebelum dia kembali menyesap birnya.
"Tumben udah pulang."
"Semua kerjaan di kantor sudah selesai," jawabnya sembari meletakkan tas dan melepas kancing kemeja dan memperlihatkan kaus putih dibaliknya. "Maia memintaku untuk melihat bagaimana keadaanmu," ujarnya sambil meng-air-quote-kan kalimatnya. "Aku tahu kamu tidak sakit. Kamu cuma ingin sendirian."
"Hmm."
Menyadari suasana hati teman sekamarnya yang benar-benar murung, Deniz meraih kursi yang biasa diduduki Karan, menyeret benda itu hingga gesekan antara kaki kursi dan lantai membuatnya meringis. Namun usahanya menarik perhatian Karan berhasil. Karan memalingkan wajah. "Aku tidak mau penasaran sampai pulang ke Amsterdam nanti kalau kamu tidak cerita sekarang. Cepat atau lambat, kamu pasti cerita, kenapa tidak membuatnya jadi lebih cepat?"
"You realize how annoying you are, don't you?"
Deniz menyandarkan punggung dan meluruskan kaki seraya bersedekap, sebelum berujar, "But I bet you will miss me. Kamu pasti kangen menceramahiku soal pintu atau pakaianku yang berantakan di atas tempat tidur. Admit it, Karan, you will text me, saying how empty this room will be even before I board on the plane."
Karan spontan meraih nota belanja yang tergeletak di atas nakas, meremasnya sekuat tenaga lantas melemparkannya ke arah Deniz. Sayangnya, temannya terlalu gesit hingga kertas itu mendarat di atas laptopnya. "Ingetin aja terus. You love seeing me suffer."
Deniz tergelak. "Oh, I LOVE seeing you suffer because of me, but this?" katanya sembari menggunakan dagunya untuk menggambarkan kondisi Karan yang membiarkan rambutnya berantakan serta menganak kaus yang terlihat sangat lusuh. "Aku tidak suka ini. You're a mess, you know. Is this about your trip to Lisbon with Egil?"
Mendengar nama Egil disebut, yang bisa dilakukan Karan hanyalah membuang napas.
Setelah pertemuannya dengan Oscar di LX Factory, Karan tidak berhasil menguatkan diri untuk memberitahu Egil. Di hadapan pria itu, dia dengan leluasa menutupi emosinya dengan tawa dan cerita yang membuat Egil tidak henti-hentinya tersenyum. Setiap bersamanya, Karan berkonsentrasi keras menyingkirkan Oscar jauh-jauh dari benaknya. Namun semua yang dia lakukan tetap tidak mampu mengurangi rasa bersalah karena menyembunyikan pertemuannya dengan Oscar.
"Kamu ada acara?"
Deniz menggeleng. "It's Monday night, Karan."
"Kamu nggak pernah kenal hari kalau urusan clubbing."
KAMU SEDANG MEMBACA
AS TIME GOES BY
General Fiction[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. Atas campur tangan semesta, dunia mereka dipertemukan dalam sebuah penerbangan menuju Denpasar dari Kuala Lumpur. Tidak ada romansa yang menye...