"KarJo, nggak seharusnya gue bersikap kayak gitu. I'm sorry. Gue kebawa emosi. Gue nggak mau hubungan kita jauh cuma gara-gara ini, cuma gue juga nggak bisa janji buat ngubah persepsi gue soal Oscar. He hurt you and that's all I care about."
Karan menundukkan wajah seraya mengaduk gelas berisi teh lemon yang esnya sudah mencair, menyisakan titik-titik air di dinding gelas yang langsung dipegangnya. Saat Zola mengajaknya bertemu di Livingstone, ada enggan yang memenuhi benak Karan. Sejak meninggalkan rumah Zola tiga minggu lalu—setelah dia membuka rahasia mengenai Oscar—Karan menolak semua ajakan Zola karena dirinya tidak ingin mendengar serapah sahabatnya mengenai Oscar. Namun saat Zola berjanji tidak akan menyinggung tentang hubungannya yang telah berakhir, Karan pun akhirnya setuju. Dia tidak bisa membohongi rasa kangen akan sahabatnya itu.
"Kamu nggak perlu nyebut namanya kalau kita di tempat umum."
Zola menatap lekat Karan yang masih menunduk sebelum mendesah pelan. "You love him that much, don't you? Karena lo kayaknya nggak terima setiap ada yang jelek-jelekin dia."
Zola langsung mengangkat kedua tangannya—tanda dia paham agar tidak kembali menyinggung perkara Oscar—begitu melihat tatapan Karan. Ditandaskannya air mineral yang tinggal setengah mengisi gelasnya lantas melipat lengannya di atas meja.
"Gue ke sini bukan ngajak lo berantem, KarJo, dan gue udah janji buat nggak nyinggung dia. Gue ngajak lo ketemuan karena gue pengen bantuin lo. Kalau apa yang gue bilang bisa lo anggep sebagai bantuan."
Kening Karan mengerut. Sambil menunggu Zola melanjutkan penjelasan, pikirannya mengira bantuan seperti apa yang akan ditawarkan Zola, mengingat kondisi dirinya baik-baik saja. Karan beringsut demi menunjukkan rasa tidak sabar sekaligus penasarannya.
"Global Movement bakal ngirim tiga orang buat ke Spanyol, Portugal, dan Prancis tahun depan dan sebaliknya, ada tiga orang dari negara-negara itu yang bakal ada di sini. Lo mau nggak nyoba ikut daftar? Gue jamin ini nggak akan jadi nepotisme, santai aja. Mereka yang bakal nentuin siapa nanti yang berangkat. Lo cuma perlu bikin motivation letter dan kalau lolos seleksi awal, mereka bakal interview lo."
"Program apa?"
"Beyond Borders, jadi programnya memang bukan buat lingkup EU aja, meski kebanyakan partnernya tetep dari sana. Indonesia kebetulan jadi satu-satunya partner di Asia buat program ini. Gue ngasih tahu karena ini kesempatan lo buat ke Eropa dan ngerasain tinggal di negara orang. It'll be good for your writing."
"Kamu tahu aku takut naik pesawat." Entah kenapa, justru ketakutan itu yang dia ungkapkan pertama kali. Aviophobia-nya memang berkurang, tapi membayangkan harus berada di atas pesawat selama belasan jam membuatnya bergidik.
"Gue belum lupa. Justru karena tahu banget lo masih takut terbang, gue pengen lo nyoba. Siapa tahu dengan terbang jauh, ketakutan lo jadi berkurang. Tapi alasan utama sih pengen bantu lo buat ngatasin patah hati. New place is good for someone like you."
"Aku nggak tahu apa-apa soal NGO dan volunteering."
Zola berdecak. "Alah, itu gampang. Nanti gue briefing bentar, lagian ini juga bukan kerjaan yang butuh keahlian khusus. Bahasa Inggris lo jago dan lo nulis, itu bisa jadi nilai plus. Siapa tahu lo bisa dapet banyak inspirasi di sana."
"Kenapa kamu ngasih tahu ini sekarang?"
Zola mengulurkan tangan untuk menepuk punggung tangan Karan. "Sebenci apa pun gue sama cowok itu, gue peduli sama lo. Meski lo nggak cerita ke gue pakai acara nangis-nangis heboh, gue tahu hati lo pasti sakit. After all, I've known you well enough, KarJo. Dan gue nggak mau liat lo terus-terusan miserable."
KAMU SEDANG MEMBACA
AS TIME GOES BY
General Fiction[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. Atas campur tangan semesta, dunia mereka dipertemukan dalam sebuah penerbangan menuju Denpasar dari Kuala Lumpur. Tidak ada romansa yang menye...