Meski tidak bisa memasak, menyiapkan makan pagi yang cuma terdiri dari toast, beberapa potong buah, dan jus jeruk bukanlah pekerjaan sulit bagi Karan. Egil masih ada di kamar dan untuk pertama kalinya, Karan ingin melakukan sesuatu sederhana untuk pria itu.
Sembari menata meja, senyumnya tidak sekali pun luntur setiap teringat kejadian malam sebelumnya. Selain memanjakannya dengan beberapa jenis masakan Italia—Karan bahkan mengakui panna cotta yang dibuat Egil mengalahkan buatan restoran Italia yang pernah dikunjunginya di Bali—Egil memberinya dua buku dari Norwegia, dan masing-masing satu dari Spanyol, Brazil, dan Italia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Knut Hamsun, Juan José Saer, Elena Ferrante, dan Rodrigo de Souza Leão adalah nama-nama yang begitu asing di telinga Karan, tapi dia tidak pernah keberatan atau menolak mendapatkan buku sebagai hadiah ulang tahun. Egil juga menyelipkan kartu kecil di salah satu buku yang membuatnya sempat terdiam.
One day, Karan, I will see your name in bookstores with something written on the cover, 'translated from Indonesian by the best-selling author of ...' and you will have a book tour around Europe and America and you'll be invited to speak on literary events. You may think I'm crazy or simply being ridiculous, but I believe in your writing, though I have only read two of it after so much persuasion. You have no reason to not believe in yourself.
Happy birthday.
Love,
Egil
Kepercayaan diri Karan tidak pernah setinggi itu. Dia tidak pernah punya ambisi berlebihan jika menyangkut cerita yang ditulisnya. Namun mengetahui Egil menyuarakannya, tak ayal menimbulkan haru. Oscar pun pernah mengatakan hal serupa ketika dia mendapati fountain pen di tangannya. Karan tak hentinya bergumam dalam hati, bagaimana mungkin orang lain menaruh kepercayaan begitu besar pada dirinya sementara dia sendiri ragu?
Dia menyingkirkan pikiran itu saat menyadari beberapa menit sudah terbuang percuma sementara mereka belum sarapan. Jika matahari sudah meninggi, dia tidak yakin masih ingin ke LX Factory. Begitu sarapan yang disiapkannya tertata, Karan melangkah menuju kamar. Keningnya mengerut melihat Egil masih berada di tempat tidur dengan mata terbuka, menatap jendela yang tirai yang tersingkap oleh angin. Rambutnya berantakan, punggungnya tersandar ke headboard, sedangkan kakinya masih tertutup selimut.
"Egil?" panggil Karan seraya melangkah mendekati tempat tidur.
Panggilan itu langsung membuat Egil menoleh dan tersenyum. "Kamu sudah bangun lama?"
"Aku udah siapin sarapan," ujar Karan begitu dia duduk di tepi tempat tidur. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya begitu menyadari leher Egil sedikit basah oleh keringat.
"I don't feel well," jawabnya disertai senyum yang terkesan lemah.
Dengan cepat, Karan langsung mengangkat lengan dan meletakkan telapak tangannya di kening Egil. Sedikit hangat. "Kamu demam."
"Aku cuma merasa tidak enak. Sedikit pusing."
"Aku bawa sarapannya ke sini, ya?"
Egil menggeleng. "Kamu harus segera ke LX Factory."
"Kita bisa ke sana besok."
Namun Egil bersikeras. "Karan, kita harus kembali ke Porto Selasa nanti dan flea market cuma ada setiap Minggu."
"Kamu mau aku bersenang-senang sementara kamu sakit?"
"Aku cuma butuh istirahat sebentar. I'll be fine by the time you come back."
"Then, I'm staying."
"Karan, please .... Kalau aku sampai jadi penghalang kamu untuk pergi ke sana, aku justru merasa bersalah. You're looking forward to it. It's good to stay away from me for a few hours," ujarnya ringan. "Find inspiration, write .... LX Factory is a perfect place for that."
KAMU SEDANG MEMBACA
AS TIME GOES BY
General Fiction[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. Atas campur tangan semesta, dunia mereka dipertemukan dalam sebuah penerbangan menuju Denpasar dari Kuala Lumpur. Tidak ada romansa yang menye...