Karan mengerjap begitu menyadari matahari sudah cukup terik menembus tirai kamar. Tangannya meraba nakas di samping tempat tidur dan saat menemukan benda yang dia cari, erangan pelannya terdengar mengetahui jam di ponsel masih menunjukkan pukul delapan pagi. Dipandanginya tirai kamar yang melambai terkena embusan angin. Semalam dia membiarkan jendela sedikit terbuka karena tidak kuat menahan gerah. Sayup-sayup, telinganya menangkap percakapan dalam bahasa Portugis di luar kamar, sesuatu yang menjadi bagian dari rutinitas paginya. Kamarnya dan Deniz di Blue Door juga berada di lantai dua sehingga percakapan para pejalan kaki terkadang membantunya bangun jika dia lupa menyetel alarm.
Namun dia tidak sedang berada di Porto, tetapi di Lisbon.
Sembari membasahi tenggorokan, Karan perlahan memalingkan wajah. Meski tahu apa yang akan dia lihat, jantungnya tetap berdegup lebih cepat. Dengan pipi yang menempel pada bantal, mulut sedikit terbuka, rambut pirang yang berantakan, Egil tampak begitu pulas dan ... damai.
Setelah berciuman di depan Convento da Graça, mereka tak ubahnya sepasang remaja yang baru saja berpacaran. Egil menggenggam tangan Karan erat, sesekali mendaratkan kecupan di keningnya dan bahkan membuat Karan salah tingkah dengan tatapannya ketika mereka makan malam di Cabacas. Begitu kembali ke apartemen yang mereka tempati dan menghabiskan dua gelas wine, Karan tidak berhenti memandang Egil yang sedang merebahkan diri di atas sofa di seberangnya. Setiap pria itu mengangkat wajah disertai senyum, Karan tersadar betapa banyaknya waktu yang sudah dia buang demi berpegang pada bayangan akan perasaannya terhadap Oscar. Egil bergeming saat Karan beranjak dari duduknya untuk mengisi ruang kosong di samping Egil. Ciuman kedua setelah di Miradouro da Graça pun tidak terhindarkan. Untuk pertama kalinya, tidak ada kata maaf yang meluncur dari mulut Karan.
Karan tidak berusaha menyembunyikan gemetar yang dirasakannya dan Egil menyadarinya saat mereka menuju kamar tidur. Tidak ada ketergesaan ketika satu per satu tangan mereka melucuti pakaian yang masih melekat. Meski sudah lama tidak merasakan sentuhan pria lain sejak hubungannya dan Oscar berakhir, Karan tidak ingin terburu-buru. Dia menyisihkan ragu yang sempat mengganggu, menggantinya dengan kecupan dan sentuhan untuk mengenal tubuh Egil. Pun setelah keringat membasai kulit dan lelah melingkupi, tidak terselip sesal atau bersalah dalam diri Karan. Yang dirasakannya justru sebuah kebahagiaan kecil yang sudah lama tersisih dalam hidupnya.
Karan memiringkan tubuh, menatap Egil lekat. Tanpa bisa menahan diri, dia mengulurkan lengan untuk menyibakkan anak rambut yang menutupi kening Egil. Gerakan pria itu membuat tangan Karan yang sudah menyentuh rambutnya, membeku sebelum dia menariknya dengan cepat. Erangan pelan Egil lantas diikuti dengan matanya yang mengerjap cepat sebelum terbuka.
"Sorry, I didn't mean to wake you."
Egil mengernyit. "Karan ... isn't it too early to say sorry?" Egil mengucapkannya sambil mengucek mata. Suaranya jelas menunjukkan kantuk yang masih menguasainya. "Kamu sudah bangun lama?"
Karan menggeleng. "Mungkin sepuluh menit?"
"Dan apa yang kamu lakukan selama sepuluh menit? Memandangiku tidur?" Egil menyangga kepalanya dengan satu lengan. Senyum terpasang di bibirnya. "Do I look more handsome when I sleep?"
Karan tidak mampu menahan tawa kecilnya. "It's not a crime, is it?"
Egil mencondongkan tubuhnya dan mendaratkan kecupan di pipi Karan. "Selamat pagi, Karan. And no, it's not a crime."
Karan memutar kepalanya, memandang sekilas cahaya matahari yang terlihat semakin meninggi. "Kita mau ke mana hari ini?"
"Kamu ingin ke mana?"
Karan mengedikkan bahu. "Kamu yang tahu tentang Lisbon. Aku nggak keberatan kita ke mana aja."
"Let's take it easy today. Bagaimana kalau ke Mercado de Ribeira? Itu salah satu tempat favoritku di Lisbon dan kita bisa piknik setelahnya. Ada satu taman yang ingin aku tunjukkan kepadamu. You love parks. Dan karena besok hari Minggu, kita bisa kembali ke LX Factory karena ada flea market di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
AS TIME GOES BY
General Fiction[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. Atas campur tangan semesta, dunia mereka dipertemukan dalam sebuah penerbangan menuju Denpasar dari Kuala Lumpur. Tidak ada romansa yang menye...