Karan mengembuskan napas lega begitu pikap yang disewanya meninggalkan halaman indekos. Yang tertinggal di kamar hanyalah barang-barang kecil yang bisa dibawanya ke tempat Zola dengan motor. Beban hebat menggelayuti dirinya melihat kekosongan yang memenuhi kamar yang ditempatinya sejak diterima di Wuluh Tirta. Ruangan kecil ini sudah seperti rumah dan meninggalkannya terasa begitu berat.
Dengan pelan, ditutupnya pintu kamar sebelum berjalan menyusuri sudut-sudut kamar. Kehidupan barunya dimulai besok saat kakinya menginjak pesawat yang akan membawanya pergi jauh dari Bali. Di satu sudut yang sebelumnya ditempati rak buku, Karan terduduk. Dia menekuk lutut untuk menyangga dagu sementara matanya lurus memandang ruang kosong bekas ranjangnya berada. Dinding di sini sudah menyaksikan segala macam bentuk emosinya, termasuk semua yang berhubungan dengan Oscar. Kesibukan di hotel serta segala macam persiapan sebelum keberangkatannya ke Porto benar-benar menyita seluruh konsentrasinya 2,5 bulan terakhir. Di hadapan banyak orang, Karan berhasil menutupi perasaannya dengan senyum. Bahkan Zola pun hanya sesekali menyinggung tentang Oscar. Namun begitu memasuki kamar, seluruh pertahanannya roboh begitu saja. Tidak ada tangisan, hanya kerinduan yang masih belum mampu dia lepaskan.
Ada pertanyaan-pertanyaan yang masih mengganggunya dan usaha untuk menemukan jawaban belum juga berakhir. Mungkinkah hubungannya dengan Oscar bisa diselamatkan andai saja Oscar dapat berpikir lebih matang saat foto yang mengubah hubungan mereka tersebar di internet? Akan sia-siakah jika dia berjuang cukup gigih mempertahankan apa yang mereka miliki? Masihkah Oscar memikirkannya—meski sedikit—saat ini? Atau bagaimana perasaannya terhadap Karan saat ini? Pertanyaan terakhir jelas tidak bisa dia jawab kecuali bertanya langsung. Sayangnya, justru pertanyaan itu yang paling sering mengusiknya.
Di saat bersamaan, Karan berupaya melihat Porto sebagai efek positif berakhirnya hubungan yang dia jalani dengan Oscar. Jika Oscar masih berada dalam kehidupannya, kesempatan merasakan hidup di tempat yang sama sekali asing mungkin tidak akan pernah dimilikinya. Itulah satu-satunya prinsip yang harus terus digenggamnya jika keinginan mengirimi Oscar direct message muncul. Dia harus belajar menerima fakta bahwa hubungan mereka tidak akan mungkin kembali terjalin.
Karan menelan ludah ketika ponselnya berdering. Diraihnya benda itu dari saku celana dan saat melihat nama Zola, dia langsung mengangkatnya.
"Lo lagi di mana?"
"Masih di kos. Mau bersih-bersih sebentar sebelum ngasih kunci. Kenapa?"
"Ntar lo langsung ke sini aja kalau udah kelar, bantuin gue masak."
Karan berdecak, tetapi senyumnya terlalu jelas untuk bisa dia sembunyikan. "Kamu tahu aku nggak biasa di dapur. Memangnya mau masak apa?"
"Bantuin potong-potong aja. Gue lagi pengen banget makan urap."
"Sejak kapan kamu suka makan daun-daunan?"
"Lo kira gue kambing makan daun-daunan? Udah nggak usah protes. Lo bakal nangis di Porto nanti karena kangen masakan Indo."
Karan tergelak. "Ada yang perlu aku beli?"
"Beli camilan aja deh lo, abis makan nanti kita ke pantai dan ngobrol di sana."
"Ngapain ke pantai?"
"KarJo, pas lo nyampe Porto dua hari lagi, lo bakal nyesel nggak ngabisin malam terakhir di pantai karena di sana masih masuk musim dingin. Nggak sedingin bagian Eropa lainnya, tapi lo beneran bakal berharap nurutin ide gue."
"Belum berangkat saja kamu udah nakut-nakutin gitu. Kamu mau apa?"
"Apa aja deh, yang pedes pokoknya."
"Noted."
"Ya udah, buruan bersihin kamar lo terus ke sini."
"Iya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
AS TIME GOES BY
General Fiction[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. Atas campur tangan semesta, dunia mereka dipertemukan dalam sebuah penerbangan menuju Denpasar dari Kuala Lumpur. Tidak ada romansa yang menye...