Melipat lengannya di atas meja, fokus Karan masih belum beralih dari layar 15 inci laptop milik Oscar. Film pendek yang dijanjikan Oscar masih menyisakan dua menit, tapi otak Karan sudah dipenuhi kalimat yang akan dia berikan kepada pria yang sekarang sedang duduk di hadapannya. Bagi Karan, film berjudul Five Memories yang ditulis dan diproduseri Oscar memang sederhana. Gambar hitam putih yang digunakan semakin menguatkan kesederhanaan filmnya sendiri. Five Memories bercerita tentang seorang pria yang kembali ke kampung halamannya—sebuah daerah di Bandung—setelah puluhan tahun dia tinggalkan dengan membawa lima foto masa kecilnya. Voice over yang digunakan bukanlah suara satu-satunya aktor yang membintanginya, tetapi menggunakan suara-suara dari setiap kenangan yang dimilikinya. Ada kesan melankoli dan nostalgia yang kuat, apalagi hampir tidak ada dialog yang diucapkan sang aktor utama, ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya menunjukkan setiap emosi yang dirasakannya. Ketika film ditutup dengan aktor utama membakar foto yang ada di tangan sebelum berjalan menjauhi kamera, Karan menghela napas panjang.
Pandangannya masih belum beranjak dari layar yang sudah menunjukkan warna hitam. Perlahan, Karan melepas earphone dan membiarkan kedua tangannya menutupi bibir. Pikirannya beradu, memilah kata apa yang harus diucapkannya kepada Oscar terlebih dahulu. Saat matanya menangkap wajah Oscar, Karan menggeleng pelan.
Wajah Oscar terlihat tegang meski bibirnya membentuk seulas senyum tipis. "So?"
Karan membasahi tenggorokannya. "Sangat menyentuh, Oscar. Very nostalgic."
"Kamu suka?"
Tidak ada alasan bagi Karan untuk menggeleng. "Saya suka film ini pakai hitam putih, memperkuat ceritanya dan ... bagus. Saya tadi udah mikir mau bilang apa, tapi rasanya saya nggak bisa bilang selain bagus."
"Pas saya bilang ke Howard about my idea, kita langsung yakin buat pakai hitam putih. It fits the story line."
Tangan Karan perlahan menutup laptop dan menyodorkannya kembali ke Oscar. "Saya nggak percaya ini film pertama kamu."
"Sejak kuliah, my friends always wanted me to act. Mereka bilang saya enggak cocok behind the scene," balas Oscar tanpa mampu menyembunyikan gelaknya. "Ini film pertama saya in seven years or so, sebagai producer and screenwriter dan pertama yang saya buat sejak kembali ke Indonesia."
Karan mengerutkan kening. "Saya kira kamu selalu bergelut di dunia film setelah lulus kuliah."
Menandaskan air kelapa yang tinggal sedikit, Oscar menggeleng. "Saya sempat kerja di kantor, 9 to 5 job, but then, saya bosan banget. Enggak ada challenge-nya, tapi kerja di film enggak gampang, so I stick around a little bit before I gave up the job."
Belum sempat Karan membalas kalimat Oscar, dua orang wanita muda mendekati meja mereka.
"Oscar James, kan? Boleh nggak kami minta fotonya?" tanya salah satu dari mereka sambil memandang Oscar, seperti mengabaikan keberadaan Karan.
Oscar tersenyum lebar dan mengangguk setelah bertukar pandang dengan Karan. "Tentu saja boleh."
"Saya bisa ambil foto kalian kalau mau." Tawaran Karan langsung diiyakan oleh keduanya, yang dari cara mereka berpakaian sepertinya sedang berlibur di Bali.
Setelah mengambil beberapa foto—dengan kamera dari dua ponsel yang berbeda—Karan membiarkan telinganya menangkap obrolan mereka bertiga. Apa yang didengarnya bukanlah sesuatu yang baru—tentang film Oscar, proyek terbaru yang sedang dikerjakannya—hingga yang bisa dilakukan Karan hanyalah mengulum senyum. Yang terlihat jelas dari kedua wanita muda tersebut adalah kesulitan mereka untuk menahan kekaguman atas Oscar. Namun yang melintas dalam benak Karan adalah dia akhirnya memiliki kesempatan untuk mengungkap tentang profesi Oscar tanpa harus merasa canggung. Dia mulai merasa tidak enak karena membuat Oscar beranggapan dirinya masih belum tahu siapa Oscar James sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AS TIME GOES BY
Genel Kurgu[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. Atas campur tangan semesta, dunia mereka dipertemukan dalam sebuah penerbangan menuju Denpasar dari Kuala Lumpur. Tidak ada romansa yang menye...