Deru suara kendaran yang melintasi Ponte 25 de Abril di atas sungai Tagus serta semilir angin yang membuat rambut hitamnya berantakan, membuat Karan tersenyum. Egil yang sejak tadi hanya memperhatikan tingkah Karan, melirik sekilas tanpa lupa menyunggingkan senyum tipisnya. Kaus abu-abu yang dikenakannya basah di beberapa titik akibat terik yang menyengat ibukota Portugal siang ini. Karan sepertinya tidak mengalami hal yang sama karena kemeja hijau mudanya hanya terlihat kusut akibat tas yang terlintang di pundak. Meski matahari bersinar begitu terang, Karan masih teguh dengan pendirian untuk tidak mengenakan kacamata hitam demi melindungi matanya. Egil pun tidak mampu menahan keheranan karena aviator sunglasses-nya masih belum dia lepas sejak mereka meninggalkan apartemen yang mereka tinggali di dekat Jardim Zoológico.
"Kamu bisa setiap hari memandangi Douro dan selama di Lisbon, kita bisa ke Praça do Comércio setiap hari supaya kamu bisa lihat sungai Tagus," canda Egil ketika menyadari Karan masih belum juga mengalihkan pandangan. "Tidak perlu bersikap melodramatis seperti itu."
"I can't do the same thing in Indonesia. This is one of the things that I will miss about Portugal."
"Bagaimana denganku? Will you miss me?"
Karan memalingkan wajah hingga tatapannya dan Egil bertemu. "You know I will miss you."
Egil lantas bersikap seolah baru saja mendengar kabar yang sangat melegakan, yang justru membuat tawa Karan berderai. "Kita ke LX Factory sekarang? Sehari tidak akan cukup untuk mengelilingi tempat itu, tapi kita bisa ke sana kapan pun kamu mau."
"Yuk!"
Jarak dari tempat mereka berdiri di bawah jembatan menuju salah satu tempat yang dijanjikan Egil memang tidak jauh. Ketika mereka turun dari bus 751 di Museu Carris, Karan memang meminta Egil agar mereka berdiri sejenak di bawah Ponte 25 de Abril. Alasan yang diberikan Karan? Ingin berteduh karena panas.
"Aku tidak percaya kamu komplain tentang cuaca hari ini."
Karan mengerutkan kening saat mereka baru saja melewati tempat disandarkannya kapal-kapal motor kecil. "Kenapa?"
"Karan, kamu orang Indonesia! Cuaca di sana aku yakin jauh lebih panas dan lembap daripada di sini," balas Egil tanpa bisa menahan diri.
"Dan karena aku orang Indonesia, aku nggak boleh komplain soal panas?"
"Well, you shouldn't be," sahut Egil ringan.
"Matahari di sana nggak seterang di sini. And definitely not as scorching as here," keluh Karan seraya menunjuk matahari di atas mereka dengan telunjuknya.
"Kita harus lari kalau gitu. Kalau kita jalan seperti ini, aku takut kamu meleleh."
Karan meninju pelan lengan Egil sambil menggumamkan "Shut up!" yang dibalas Egil dengan gelak.
Tidak lama kemudian, mereka sudah berada di depan pintu gerbang LX Factory, sebuah creative space yang ada di Lisbon. Egil menghentikan langkahnya yang diikuti oleh Karan.
"Are you ready? Is your notebook ready?"
Karan berdecak. "You're not gonna stop teasing me, are you?"
"Nope."
Setelah mengambil foto logo LX Factory yang berada di atas pintu masuk, mereka memasuki salah satu tempat yang menjadi favorit warga Lisbon. Tidak jauh dari pintu masuk, Karan tercengang melihat lebah berukuran raksasa yang terlihat seperti sedang merangkak di tembok bercat hijau dengan tulisan DORM di atasnya.
Menyadari keterkejutan Karan, Egil pun berhenti. "Kita bisa mendekat kalau kamu mau."
Bukan ukurannya yang membuat langkahnya terhenti, tetapi sekelebat kenangan akan Oscar mengisi benaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AS TIME GOES BY
General Fiction[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. Atas campur tangan semesta, dunia mereka dipertemukan dalam sebuah penerbangan menuju Denpasar dari Kuala Lumpur. Tidak ada romansa yang menye...