Selama beberapa menit, Karan menjadikan manusia dan kendaraan yang lalu lalang di sepanjang Avenidos da Republica fokus utamanya. Hujan sudah berhenti setengah jam lalu, begitu juga dengan ceritanya tentang Oscar. Meski telah membebaskan diri dari rasa bersalah terhadap Egil, dia juga harus menahan perih yang berhasil dia sembunyikan dari pria yang saat ini hanya memandangnya diam. Karan tidak yakin bisa mengulangi kisah ini kepada orang lain. Bukan karena tidak mau, tetapi kenangan bersama Oscar tidak berbeda dengan membuka paksa perban sementara lukanya sendiri belum seratus persen kering.
Sementara Karan berjuang menormalkan suasana hati, Egil masih mempermainkan pak gula di tangan. Kopinya telah lama menyisakan endapan, bahkan cangkirnya sudah dingin. Sepasang mata hijaunya bergantian mengamati pandangan Karan karena sejak menyelesaikan cerita mengenai Oscar, dia masih belum mengalihkan tatapan ke arahnya. Karan sekadar menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Egil dengan senyum, tidak jarang dia hanya mendapatkan sebuah gelengan atau anggukan singkat. Egil lantas menaruh pak gula yang bungkusnya sudah kumal akibat remasan tangan dan membuang napas. Mencondongkan tubuh, dia menyandarkan kedua lengan di atas meja, berusaha mendapatkan perhatian Karan.
Menyadari tatapan Egil, Karan menoleh setelah membasahi tenggorokan. Sekalipun Egil telah mengetahui sebagian besar cerita yang disimpannya dari pria Skandinavia itu, Karan masih merasa ada penjelasan yang belum diungkapkannya.
"Kalau setelah ini hubungan kita berubah, aku nggak akan nyalahin kamu," ujar Karan setelah mereka saling bertukar pandang cukup lama. "Harusnya aku cerita sejak awal, tapi aku terlalu pengecut untuk tahu konsekuensinya."
"Are you still very much in love with him?"
Karan mengedikkan bahu karena dia sejujurnya tidak tahu harus seperti apa menamai perasaan terhadap Oscar yang masih mengusik hidupnya. "Mungkin aku ingin memercayainya sebagai cinta, sedangkan faktanya, ini hanyalah sisa dari apa yang pernah aku rasakan ke Oscar." Karan menatap Egil lekat-lekat, berusaha menemukan emosi yang masih disimpan pria itu dan akan segera diluapkannya. "Tapi kalau kamu tanya apakah aku masih sering memikirkan Oscar," Karan mengangguk pelan, "I do."
Sejak kunjungan singkat Zola—pertengkaran kecil mereka di metro serta apa yang disampaikan sahabatnya saat mereka ada di bandara sebelum Zola melanjutkan perjalanan ke Spanyol—Karan mulai mengevaluasi perasaannya terhadap Oscar. Ada ragu yang mulai menyusup. Pertanyaan apakah yang dirasakannya sejak meninggalkan Bali masih sekuat dulu atau ini tak lain adalah sebuah paksaan untuk berpegangan pada sesuatu yang jelas-jelas sudah tidak ada. Ada saat-saat di mana dia berhasil meyakinkan diri bahwa Oscar sudah sepenuhnya melanjutkan hidup tanpa harus menengok ke belakang. Namun terkadang Karan ingin percaya, pria itu masih menyimpan kenangan akan dirinya.
"Apakah Oscar adalah alasan kenapa kamu selalu bilang," Egil berdeham pelan, "bersikap tidak adil kepadaku? Hanya karena kamu belum sepenuhnya bisa lepas dari perasaanmu terhadapnya?"
Karan mengangguk. "Mungkin aku memang nggak bisa berpindah hati secepat orang lain. It took me four years before I was ready with another relationship." Karan menggigit bibir saat menyadari hampir saja nama Binar terlontar. Dia tidak akan sanggup jika harus mengungkapkan kepada Egil tentang Binar saat ini juga. "Aku nggak mau menjadikan kamu pelarian saat belum sepenuhnya bisa melupakan pria lain, Egil. If you were in my position, I believe you would have done the same thing."
Egil tersenyum tipis. "Cinta itu egois."
"It is."
"Tapi kamu tahu aku tidak pernah keberatan dengan apa yang kita miliki selama ini, kan? Terlepas dari Oscar, aku rasa tidak akan yang berubah dariku, Karan. You're still the same person, I just understand you better."
KAMU SEDANG MEMBACA
AS TIME GOES BY
General Fiction[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. Atas campur tangan semesta, dunia mereka dipertemukan dalam sebuah penerbangan menuju Denpasar dari Kuala Lumpur. Tidak ada romansa yang menye...