"Itu foto yang aku pilih buat buletin, bukan?" tanya Karan begitu dia duduk di samping Deniz setelah kembali dari ruangan Maia.
Deniz mengangguk. "Maia bilang apa?"
"Dia minta draft kasarnya minggu depan. Kalau bisa dapet balesan dari para partner minggu ini, harusnya aku bisa ngasih bahkan sebelum Maia minta. Kemarin sore sebelum pulang, aku belum dapet jawaban sama sekali dari mereka. Apa susahnya sih ngasih tahu project yang baru mereka kerjain?" gerutu Karan sembari membuka laptop dan membuka surelnya.
Namun kekesalannya digantikan oleh keterkejutan saat mendapati nama Oscar James muncul di urutan teratas kotak masuknya. Matanya juga menangkap bahwa pria itu mengirim sebuah attachment. TO KARAN adalah judul yang tertera di kolom subject, seperti ingin memberikan penegasan lebih kepada siapa surel ini ditujukan.
Menyadari Karan yang tiba-tiba diam, Deniz mengalihkan tatapan dari foto yang sedang dieditnya. Dia mengerutkan kening melihat jemari Karan membeku di atas touchpad. "Ada apa, Karan?" tanyanya setelah satu menit berlalu dan reaksi Karan masih belum juga berubah.
Tersadar oleh pertanyaan Deniz, dengan lirih, Karan berujar, "Oscar kirim email."
"What is it about?"
Karan menggeleng. "Aku bahkan belum buka." Meski ada ketakutan akan isi surel Oscar, rasa ingin tahunya tidak kalah besar. Dengan sekali gerakan, Karan menyentuh touchpad dan mengarahkan kursornya untuk membuka surel yang dikirim Oscar.
Dia menelan ludah begitu membacanya.
Karan,
Apa kabar? Semoga kamu enggak kaget terima email dari aku. I can picture your facial expression every time something surprises you. Aku attached something di email ini, tapi please jangan buka dulu.
Let me say something first.
Despite all the secrecy in our relationship, we were happy, weren't we? Aku mungkin kayak begging to give our relationship a second chance, dan aku enggak malu mengakui itu. Anggep aja ini part of my effort, yang kamu bisa abaikan karena udah ada orang lain. Tapi kita enggak pernah tahu sebelum mencoba kan?
Karan, there was a pang of jealousy when you said you were seeing someone, something that happened rarely in my previous relationships. I want to see you smile, and I don't mind telling you that I am hoping to be the one to bring that smile on your face.
Maybe this will convince you that I meant what I said. Kamu boleh buka attachmentnya sekarang.
Karan menoleh, seolah ingin memastikan Deniz akan menyelematkannya dari apa pun yang akan ditemukannya di attachment itu. Menggigit bibir bawahnya, Karan berkata, "Dia kirim attachment."
"Foto?"
"Aku nggak tahu. Mungkin."
"What are you waiting for?"
Karan membasahi tenggorokannya sebelum mengarahkan kursor ke arah attachment yang disertakan Oscar. Saat melihat ukuran file-nya, Karan yakin, lampiran itu berupa video. "It's a video."
Kecepatan internet yang sangat cepat membuat Karan tidak perlu menunggu lama. Diraihnya earphone dari tas sebelum memasangnya. Dia menyerahkan satu bagian ke Deniz, tapi sahabatnya itu menolak.
"You can tell me later on. I believe Oscar wanted you to hear it personally," ujar Deniz seraya menggeser kursinya sedikit lebih jauh untuk memberi Karan ruang. Dia menatap laptopnya setelah meyakinkan diri bahwa Karan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
AS TIME GOES BY
General Fiction[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. Atas campur tangan semesta, dunia mereka dipertemukan dalam sebuah penerbangan menuju Denpasar dari Kuala Lumpur. Tidak ada romansa yang menye...