Sudah lebih dari tiga minggu sejak Karan terakhir bertemu dengan Egil. Sudah tiga minggu pula dia tidak tahu kabar pria itu. Mereka benar-benar memutuskan untuk tidak saling berhubungan. Anggapan Deniz bahwa Egil tidak akan mengambil langkah drastis setelah mengetahui tentang pertemuannya dengan Oscar tidak terbukti. Karan memastikan Deniz mendengarnya langsung saat dia berkunjung ke Amsterdam.
Kepergiannya ke Amsterdam akhir pekan kemarin tidak mampu menghapus gundah. Usaha Deniz untuk menjadikan perjalanan Karan menyenangkan tidak sepenuhnya berhasil. Keriuhan gay pride justru menyurukkannya dalam harapan kehadiran Egil di sisinya. Mereka tentu saja membicarakan Egil dan Oscar. Untuk pertama kalinya, Karan membiarkan dirinya dikendalikan alkohol sampai Deniz memberinya ceramah panjang lebar saat pusing tidak lagi menyerang kepalanya. Ketika harus kembali ke Porto kemarin, Karan langsung menuju kamar dan tidur sampai pagi. Hari ini pun dia tidak masuk kantor karena pikirannya masih terlalu keruh untuk mengerjakan apa pun.
Tentu saja ada yang hilang dalam keseharian Karan. Tidak ada pesan singkat atau suara yang menyapanya dengan pertanyaan tentang menu makan siang. Tidak ada gurauan atau nada sombong pria itu ketika berhasil memasak satu resep yang rumit. Karan merindukan Egil. Godaan untuk mengirimi pesan terlebih dulu sangatlah besar, tetapi jemarinya selalu mengambang di atas layar ponsel, tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Waktu seolah menyeretnya kembali ke masa di mana dia harus sendirian keluar dari keterpurukan setelah kepergian Binar dan hubungannya dengan Oscar kandas. Apa yang dirasakannya persis.
Dia menghela napas seraya meluruskan kaki. Dijadikannya pohon besar di belakang sebagai sandaran punggung. Dari tempat favoritnya di Jardim do Morro ini, dia bisa menyapukan pandangan ke sungai Douro dengan leluasa. Dua minggu lagi dia akan kembali ke Indonesia. Jika bisa, ingin rasanya dia terbang sekarang juga ke tanah kelahirannya. Keterdiaman Egil dan ketidakhadiran Deniz di Blue Door jelas menjadikan diam sebagai pilihannya. Menenggelamkan diri dalam pekerjaan yang tidak banyak, menyusuri jalanan di Porto hingga kelelahan melanda ... dan menulis. Jika ada satu yang disyukurinya dari kejadian ini adalah idenya mengalir dengan deras. Lacunae sudah diselesaikannya tiga bulan lalu dan cerita baru yang sedang dia kerjakan masih belum memuaskan batinnya.
Mengembuskan napas keras, Karan memejamkan mata. Membiarkan wajahnya terpapar sinar matahari sore. Dia mengabaikan surel Oscar, bahkan tidak membacanya lagi. Tidak ada perlunya membalas sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. Saat ini, Egil yang menjadi prioritasnya, bukan Oscar.
"I know I can find you here."
Karan terperanjat mendengar suara yang sangat dikenalnya. Begitu dia membuka mata, tampak Egil tertawa pelan sebelum pria itu menempatkan diri di depan Karan. Mengenakan celana pendek biru muda dan kemeja putih, Egil membiarkan rambut-rambut tipis di sekitar bibir dan dagunya tumbuh lebih lebat. Kacamata hitam dan topi kep—yang tidak pernah dilihat Karan—menjadikan penampilan Egil berbeda. Karan tidak yakin akan mengenalinya jika mereka berpapasan di jalan.
Namun kebahagiaan melihat pria itu terlanjur menguasai hatinya hingga semua perubahan yang dia saksikan tidak terasa penting. Tanpa bisa dia tahan, lengannya terulur untuk membelai cambang Egil. "This look doesn't suit you at all." Hati memang bukan sesuatu yang dapat diterka, karena saat ini yang dirasakan Karan ketika telapak tangannya menyentuh Egil adalah tumpukan kerinduan yang sangat besar.
Dia tersenyum. "I'll shave," balas Egil sembari mengarahkan bibirnya untuk mengecup telapak tangan Karan yang masih menempel di pipinya. "Apa kabar, Karan? Ini mungkin jeda terlama kita tidak saling berhubungan."
Karan mengangguk. "Apart from what happened between us, I'm fine." Dia lantas menarik lengannya. "Kamu sendiri?"
"I'm okay. Been busy lately."
KAMU SEDANG MEMBACA
AS TIME GOES BY
General Fiction[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. Atas campur tangan semesta, dunia mereka dipertemukan dalam sebuah penerbangan menuju Denpasar dari Kuala Lumpur. Tidak ada romansa yang menye...