"Yakin nggak ada yang ketinggalan?"
Meski menjawab dengan gelengan, Deniz tetap mengedarkan pandangan ke seisi kamar yang akan ditinggalkannya. Satu koper besar sudah dia letakkan di dekat pintu, tempat tidurnya sudah rapi, begitu pun mejanya. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, dia menghampiri Karan yang sedang menekuri ponsel.
"Have you told Egil?"
Karan mendongak, kaget dengan pertanyaan Deniz yang tiba-tiba.
Egil, Maia, dan beberapa penghuni Blue Door terlibat percakapan di ruang tamu di lantai bawah, bersiap mengantar Deniz ke bandara. Seminggu terakhir, Karan menghabiskan waktu lebih banyak dengan Deniz seolah mereka sudah terpisah tahunan lamanya. Fakta bahwa mereka tidak hanya bertemu di kantor setiap hari, tapi juga berbagi kamar, justru membuat Karan semakin sulit membayangkan kamar yang ditempatinya sejak sampai di Porto hanya akan berisi satu orang. Karan berusaha tidak bersikap sentimental—karena dia bisa mengunjungi Deniz di Amsterdam kapan pun dia mau—tapi sulit baginya untuk tidak merasa sedih. Beradaptasi dengan kesendirian setelah empat bulan selalu ada orang lain di kamar jelas akan perlu waktu sekalipun ada kelegaaan karena akhirnya dia akan memiliki privacy penuh. Karan berencana menginap di tempat Egil malam ini, sesuatu yang sudah beberapa kali dilakukannya terutama di akhir pekan.
"Aku belum nemu waktu yang tepat." Alasan Karan masih belum berubah setiap kali Deniz mengajukan pertanyaan yang sama.
"Karan ...."
Karan mendesah. "Aku bener-bener nggak tahu bagaimana harus bilang ke dia, Deniz. Tolong jangan paksa aku."
"This is for your own good. Aku tidak akan memaksa jika tidak peduli dengan kamu dan Egil. Terlepas apakah nanti hubungan kalian berlanjut atau tidak, kalian tetaplah temanku. And I hate seeing my friends got hurt."
Kebenaran dalam kalimat Deniz memang tidak bisa dibantah. Karan sangat sadar konsekuensi yang harus diterimanya jika keberanian untuk memberitahu Egil akhirnya muncul.
"Please?"
Dalam sejarah pertemanan mereka, Karan tidak pernah melihat Deniz memohon, apalagi demi sesuatu yang sama sekali tidak memberikan keuntungan apa-apa untuknya. Mereka saling bertatapan. Karan memasukkan ponselnya ke saku celana sebelum berdiri dan menghampiri Deniz. Dia pun akhirnya mengangguk.
"I will tell him later after we dropped you at the airport."
Senyum Deniz mengembang begitu lebar. "Then we shall get going now."
Deniz berjalan menuju pintu, tangannya menyeret koper sementara yang Karan lakukan hanyalah diam mematung.
Akankah aku mampu bilang ke Egil?
***
"How do you feel?"
"Sekarang masih baik-baik aja. Mungkin besok kalau kembali ke Blue Door dan liat kamar udah kosong ...." Karan sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya.
Egil meremas tangan Karan lembut. "You have me."
Karan mengangguk pelan dan menyesap bir demi mengusir rasa bersalahnya selama beberapa detik. Setelah mengantar Deniz ke bandara, dia memang langsung ke apartemen Egil. Angin sepoi yang berembus di pertengahan musim panas sungguh meningkatkan level malas Karan untuk beranjak dari balkon. Menyaksikan ombak yang bergulung serta orang-orang yang berjalan di pantai sedikit menenangkan pikiran. Egil tidak banyak bicara sejak mereka meninggalkan bandara dan dia berterima kasih atas pengertian pria yang sekarang duduk di sampingnya. Ucapan Deniz menggema lebih jelas sekalipun temannya itu sedang dalam perjalanan ke Amsterdam.
KAMU SEDANG MEMBACA
AS TIME GOES BY
General Fiction[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. Atas campur tangan semesta, dunia mereka dipertemukan dalam sebuah penerbangan menuju Denpasar dari Kuala Lumpur. Tidak ada romansa yang menye...