30 - THE KISS

1.7K 119 7
                                    


Dengan hati-hati, Karan dan Egil turun dari trem E15 yang berhenti tepat di Praça do Commércio, salah satu lapangan terbuka berbentuk U yang langsung berhadapan dengan sungai Tagus. Matahari masih tinggi meski waktu sudah menunjukkan hampir pukul empat sore. Setelah menghabiskan hampir tiga jam di LX Factory, Karan akhirnya menyerah karena masih banyak yang belum dilihatnya dari Lisbon. Menenteng satu tas berisi beberapa buku berbahasa Inggris dari penulis Portugis yang berhasil dia temukan, Karan berjalan menuju tengah lapangan.

"Jadi kamu suka LX Factory?" tanya Egil.

"Sangat. Aku harus ke sana lagi. Ada banyak yang belum aku lihat." Begitu berada di bawah patung perunggu berwarna hijau berbentuk seorang pria yang sedang menaiki kuda, sementara kaki-kaki kuda tersebut menginjak beberapa ular, Karan berhenti. "Ini patung siapa?"

"King Jose I," ujar Egil mengangkat sedikit wajahnya. "Saat dia memerintah, terjadi gempa dahsyat tahun 1755, yang diikuti dengan tsunami. Praça do Commércio dibangun ulang akibat gempa itu. It's majestic. Jika Portugal's Day diadakan di Lisbon, Presiden akan memberikan pidato di tempat ini."

Karan hanya mengangguk paham mendengar penjelasan Egil. Banyak yang dipelajarinya tentang Portugal lewat Egil karena pria itu tahu lebih dari cukup sejarah Portugal. Jika bersama Egil, Karan tidak perlu membuka Wikipedia atau Google karena segala pertanyaan yang dipunyainya tentang Portugal, Egil bisa menjawabnya. Meskipun Egil pun selalu meminta Karan agar mengecek sekali lagi untuk memastikan kebenarannya.

"Kita mau ke mana lagi?"

Egil menyeringai jenaka. "Our next destination will be very interesting."

Karan menatap Egil ragu. "Dari ekspresi kamu, sepertinya ini nggak akan jadi kunjungan biasa."

Masih berusaha menahan senyum lebarnya, Egil menggeleng. "Let's go."

Mereka berjalan meninggalkan patung King Jose I menuju sebuah gerbang yang mengingatkan Karan akan Arc de Triomph yang ada di Paris. Menyadari pandangannya, Egil menghentikan langkah.

"Itu Arco da Rua Augusta karena setelah itu ada Rua Augusta, sebuah arkade yang tembus ke lapangan seperti Praça do Commércio."

Karan menyuarakan apa yang ada di pikirannya. "Mirip Arc de Triomph."

Egil mengangguk. "Tempat ini penuh sejarah, Karan. Di lapangan ini juga, terjadi pembunuhan Raja Carlos I, raja terakhir Portugal sebelum menjadi republik."

"Really?" tanya Karan sementara mereka kembali berjalan.

"Dua tahun setelah pembunuhan itu, monarki Portugal runtuh."

"Kamu pernah kepikiran untuk jadi dosen sejarah? Pengetahuan kamu tentang Portugal sangat luas, kamu bisa bahasa Portugal, apa lagi yang kamu perlukan? You'll be a good teacher."

Egil tergelak. "Aku tidak punya bakat mengajar. Aku hanya senang membaca tentang sejarah Portugal. It always fascinates me."

"Boleh aku tanya sesuatu?"

Jawaban yang diberikan Egil sekadar gumaman pelan dibarengi sebuah anggukan.

"Your Portuguese ex-boyfriend."

"Apa yang ingin kamu tahu?"

"Kamu nggak banyak cerita tentang dia."

Egil menghela napas. "Kamu tidak pernah bertanya dan aku juga tidak tahu apa yang harus aku ceritakan."

"Kalian ketemu di mana?"

"Di Oslo. He's a friend of a friend and we got introduced the way Deniz introduced us. Dia di Oslo hanya satu minggu, tapi kami bicara banyak dan aku langsung merasa cocok dengannya. Aku mengunjunginya di Lisbon dua bulan kemudian dan kami jadi lebih dekat setelahnya. Saat dia mendapatkan pekerjaan di Oslo, aku semakin bersemangat. We decided to live together and we had a good life. Semuanya berubah ketika aku menyadari dia mulai menjauh. Kami jadi sering bertengkar, pekerjaan kami juga jadi faktor. We were too busy with our job that we forgot we were in relationship." Egil memandang Karan sekilas sebelum menarik pelan bahu Karan begitu mereka berbelok memasuki Rua dos Fanqueiros. "Daripada saling menyakiti, kami setuju untuk mengakhiri hubungan. And life goes on afterwards."

AS TIME GOES BYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang