Part #4 Dear Sherlock

682 51 5
                                    

John tanpa sadar, telah ikut mematung menatapi rekannya yang sudah tiga jam didepan nisan seseorang yang ia pikir tidak akan pernah mati. Butiran putih salju yang semula hanya sedikit, kini bertambah banyak dan kekuatannya sudah hampir membekukan tangan John.

"Sherlock.." panggil John ragu. John masih mencoba menunggu wajah rekannya menoleh ke arahnya. Akhirnya John mencoba menyentuh pundak rekannya yang tetap berjongkok dimakam Mrs. Adler dan pria jangkung berambut ikal itu langsung tersungkur, mukanya yang semula sembab sekarang memucat seperti tak bernyawa.

"Wow Sherlock apa lagi ini? Kau sudah mulai mati sekarang karena aku menyentuh pundak mu?" Untuk sesaat John membiarkannya, mengangap rekannya hanya membuat lelucon terhadapnya.

"Sherlock?" Panggil John kembali. Kemudian ia bergegas mengecek nadi rekannya. "Ah sial, nadinya meningkat dan demamnya tinggi." Ia langsung bergegas membopong rekannya ke kastil tua, karena dengan keadaan cuaca dan keadaaan rekannya yang seperti ini, tidaklah mungkin bagi mereka untuk kembali ke London.

Setelah mencoba membunyikan bel sebanyak lima kali pelayan tua itu membukakan pintu dan mempersilahkan mereka masuk.
Pelayan tua itu bahkan mempersilahkan mereka untuk menginap.

"Mr. Sebaiknya kita meletakkan rekan anda didekat perapian di ruang tengah dan mengompresnya. Sementara anda bisa mengisi kamar atas."

Sherlock di letakkan tepat di sofa Mrs. Adler terakhir kali menghembuskan nafasnya. Kehangatan diruangan itu dan wangi parfum bunga camomille yang selalu dipakai Mrs. Adler membuat Sherlock mempertahankan pejamannya. Ia membayangkan ia tidur dipangkuan Irene Adler sambil mendengarkan kisah wanita itu. Sherlock benar-benar terhanyut, hingga suara ribut yang familiar membangunkan mimpi panjangnya.

"Sherlock, ini sudah hampir jam satu siang, kau belum makan sejak kemarin."

Mata Sherlock masih sayu, ia mencoba berpikir hanya dengan wangi parfumnya saja, ia mudah ditipu oleh mimpi yang hanya menghabiskan waktu. "Dimana kita John?" Sherlock melihat ke sekeliling.

"Hmm.. kastil milik Irene Adler."

Sherlock langsung terbangun dari sofa besar itu, tidak mempedulikan makanan yang sudah susah payah John bawakan. Ia berlari keluar ruangan. Ia mengingat setiap detail cerita Irene Adler yang tak pernah ia hiraukan sebelumnya, mengenai kastil tua kebanggaannya. Sampai akhirnya ia disudut lorong menuju taman, dimana ada ruangan piano tua tempat favorit Mrs. Adler. Jemarinya yang masih lemah mencoba memainkan nocturne op. 9. Sherlock terhanyut untuk yang kesekian kalinya.

Sudah lama Fernon tidak mendengarkan suara piano mengisi kekosongan kastil tua itu. John dan Vernon menatapi Sherlock memainkan piano dengan hikmat.

"Kau Sherlock Holmes?" Tanya Fernon. Tiba-tiba John menghalangi pandangan pelayan tua itu. " Kami tidak bermaksud membohongi mu." Fernon tetap berjalan menerobos John, langkahnya pasti seolah ongin menerkam Sherlock. John pun tidak bisa menyalahkan pelayan tua itu jika memarahi Sherlock, karena Sherlock lah tuannya mati. Fernon semakin dekat, Sherlock bahkan tidak merubah posisi duduknya lalu, Fernon menjabat tangannya.
"Mrs. Adler meniru permainan piano mu."
"Maaf, sebelumnya aku lebih sering memainkan biola."
"Maksudku caranya meresapi musik itu dan mencoba menyembunyikan pikirannya dengan musik, tapi dengan musik apapun ia seolah mengungkapkan apa yang ia pikirkan. Seolah itulah cara ia berbicara dengan seseorang."

Tampak diwajah Mr. Holmes terhias senyuman tipis. Ia mencoba menyembunyikan fakta ia senang bahwa ia masih menjadi prioritas Mrs. Adler. Sementara John mengelus dadanya beberapa kali, bersyukur pelayan tua itu tidak marah karena kebohongan yang ia buat.

"Mr. Holmes ada sesuatu untuk mu. Aku hampir frustasi karena tidak mungkin dapat bertemu dengan mu."
Mata Sherlock membelak melihat surat bertuliskan namanya dari Irene Adler. Tanpa ragu ia mengambil dan langsung membaca tulisan tangan yang di ukir dengan indah.

Tertuliskan :
Dear Sherlock,
Sad, I will missing a love home.

-Yours

Tatapan Sherlock kosong, otaknya berpikir seolah kematian Irene Adler telah dirancang. Sementara John menangisi isi surat itu, membayangkan itu adalah pesan terakhir wanita yang akan menyusul Sherlock di surga.

Sherlock Holmes (Dear Sherlock)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang