Part #1 Dear Sherlock

2.7K 83 6
                                    

Untuk setiap bagian kata yang tidak mampu ku ucapkan, ku suarakan lewat dentingan piano.

"Mrs. Adler sampai kapan anda akan berdiam di sana?"

Dentingan piano itu seketika terhenti, tangan rapuhnya terkulai lemas. Wajahnya yang pucat pasi melihat kebelakang dengan tatapan kosong. Tampaknya sulit sekali bagi wanita itu untuk membuka mulutnya.

"Adakah surat dari nya Fernon?"

Seseorang dengan baju pelayan, seketika merubah pandangannya kebawah dan menjawabnya dengan teramat pelan, seperti hembusan angin "Belum saya terima Mrs. Adler".

Wanita itu cepat mengembalikan perhatiannya ke piano tua setelah mendapat jawaban yang ia tidak dapat dengar, namun sudah memiliki jawaban tanpa ditanyakan.

Dari luar ruangan terdengar suara sepatu khas bangsawan yang indah dan berirama, namun semakin lama suaranya semakin cepat dan terdengar teriakan dari ujung lorong.
"Fernooon!"
"Mrs. Elizabeth, perhatikan langkah anda."
"Aku sudah besar Fernon dan kau menua."

Wajah pelayan tua itu tampak khawatir melihat wanita dekade dua itu berlari riang kearahnya."Apa yang membawa anda ke desa terpencil ini Mrs ?"

"Oh Fernon, jangan anggap aku orang jahat yang tidak akan kembali kesini. Bagaimana keadaan Irene? Apakah dia baik-baik saja?"

"Aku tidak yakin Mrs. Elizabeth. Apakah anda mau bertemu dengannya? Dia sudah lima hari disana tanpa makan dan tidur."

Wanita itu langsung teralihkan, ia berlari dengan kencang menuju ruangan dengan suara alunan piano yang indah.

"Ahh.. nocturne op.9 no.2. Chopin pasti sudah benar-benar merasuki wanita 29 tahun ini."

Wanita dengan rambut blonde itu mendorong pintu besar dengan keras seolah ia lupa bagaimana cara membuka pintu.

"Irene Adlerr!" Dia langsung memeluk wanita bergaun putih didepan piano itu.

"Raga mu bernyawa Irene, tapi jiwa mu telah mati."

"Dia sudah mati Elizabeth dan aku juga. Aku bahkan sudah mati sebelum memulai kehidupan. Saat bertemu dengannya aku seperti akan dilahirkan. Aku kini berada disaat mati dalam kehidupan." Wanita bergaun putih itupun beberapa kali menghela nafasnya, dan alasan ia tidak mampu menutup mata adalah wajah pria yang dinantinya selalu menghantuinya. Akhirnya Elizabeth mencoba menuntun Irene ke taman belakang castil tua itu. Langkah wanita bergaun putih itu lemah tak beraturan.

"Taman di musim semi yang indah Irene, Fernon pasti sudah berusaha keras mempercantik ini. Tapi kau tak pernah melihatnya."

Wanita rapuh itu dengan sekuat tenaga memejamkan mata. "Mrs. Adler biarkan saya memakaikan anda kaca mata. Sudah lima hari anda tidak melihat matahari, pasti sedikit sulit untuk beradaptasi."

Perlahan ia mencoba membuka kelopak matanya. Semuanya hitam dan hampa. Hal itu lebih baik dibandingkan wajah Sherlock yang selalu datang menghampirinya ketika ia memejamkan mata.

"Aku sangat iri dengan mu Irene. Fernon, jika Irene sudah mendapatkan jiwanya lagi, ikutlah dengan ku ke Paris. Aku sangat ingin kau menjadi pelayan kami disana."

Dengan muka penuh penyesalan Fernon menjawab " Maafkan saya Mrs. Elizabeth saya tidak dapat meninggalkan kastil tua ini." Wanita bolonde berbaju merah itu tampak kecewa.

Angin musim semi meniup kerah tubuh renta Mrs. Adler. Dia tampak sedikit gemetar. "Bisakah kita masuk?" Tampaknya cadangan lemak ditubuhnya hampir terkikis habis.

Dua wanita itu duduk diruang tengah dekat perapian. Mrs. Adler tampak meringkuk diatas sofa hitam dengan bahan bludru, tampaknya tubuhnya mulai nyaman dengan kehangatan ruangan itu. Daya pikat Holmes dalam pejaman matanya, mampu menjeratnya dalam ilusi nyata. Hati Irene Adler seolah dibuat memohon untuk tinggal dalam mimpinya.

Wanita blonde itu memainkan rambut wanita rapuh yang kini mulai tertidur. "Tidurlah Irene Adler, kau pasti lelah. Tidur lah untuk selama-lamanya." Dia mengeluarkan sapu tangan yang telah diberi obat bius lalu membekap mulut dan hidung wanita itu dengan sapu tangan. Ia tidak bertenaga untuk melawan ajal, seolah-olah Irene Adler memang sudah menunggu momen ini. Tanpa butuh waktu yang lama wanita rapuh itu terkulai lemas dan tidak sadarkan diri. Elizabeth dengan cepat mencoba melesat keluar dan tampak menghalangi pelayan tua itu untuk masuk.

"Fernon, dia sudah tertidur biarkan dia tidur. Pasti sulit baginya setelah lima hari terjaga. Tugas ku sudah selesai disini Fernon, dia sudah tertidur. Aku harus kembali ke Paris."

"Terimakasih banyak Mrs. Elizabeth, anda sangat pemurah hati."

"Fernon aku pasti merindukan mu dan akan kembali dalam waktu dekat ini. Aku yakin."

Sebelum berpisah Mrs. Elizabeth memberikan pelukan kepada pria tua yang dulu melayaninya sewaktu kecil. Senyuman manisnya pasti akan menutupi fakta kematian wanita tangguh Irene Adler. Ia kembali menuruni tangga dengan anggun layaknya seorang lady.

Keheningan pada sore itu mengisi kastil mewah di desa terpencil. Dentingan piano sudah tidak terdengar lagi. Tubuh kaku Irene Adler diselimuti oleh hangatnya perapian dan hembusan angin musim panas. Pasti yang Ia yakini saat ini adalah, waktunya bertemu kembali dengan Mr. Holmes.

Sore itu, Fernon menemukan surat tulisan tangan yang kurang beraturan namun terasa penuh makna.

Dear Sherlock,

Kau tahu yang kuharapkan dari hidup didunia ini adalah untuk dilahirkan. Keingginan untuk hidup dan tidak membuang waktu, adalah pada saat pertama kali bertemu denganmu. Kematian mu membunuhku. Aku jiwa yang mati sherlock, yang terperangkap dalam raga lemah yang medambakan kematian. Aku mendamakan kematian untuk kehidupan, karena aku dilahirkan jika hidup bersama mu.

Kita akan hidup dalam kematian Sherlock, kematian yang damai. Kau hanya akan menangani kasus ku. Aku lah teka-teki mu Sherlock. Kematian ku juga akan melengkapi mu karena kita adalah puzzle. Tanpa mu aku tidak akan pernah sempurna.

- Wanita mu
Irene Adler

Sherlock Holmes (Dear Sherlock)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang