Keesokan harinya Elena sengaja mengikuti saran Hendra untuk beristirahat di rumah. Walaupun begitu Elena tetap tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai sekretaris Hendra, ia bangun pagi sekali untuk menginformasikan pada Hendra jadwal meetingnya hari itu. Elena tersadar bahwa selama ini ia belum pernah menghubungi Hendra sekalipun di luar jam kantor. Elena membuka tas kerjanya dan membuka setiap celah yang ada di dalamnya namun Elena belum menemukan benda yang dicarinya. Kemudian ia mengingat-ingat hari pertama kedatangan Hendra, kala itu Hendra memberikan kartu namanya pada setiap karyawan. Namun sepertinya Elena tidak terlalu mempedulikan kartu nama itu.
"Ah Dimana sih?"
Elena masih terus mencari di tasnya namun yang ada di sana hanya earphone, dompet, parfum, buku catatan dan tas make upnya. Tak sengaja ia menjatuhkan buku catatannya , ternyata kartu nama itu terselip di buku catatannya. Ia memandangi kartu nama itu. Kemudian Elena mengucapkan nama lengkap Hendra dengan suara yang pelan.
"Doni Mahendra Kusuma."
Tanpa sadar ibunya yang daritadi memperhatikan kesibukkannya dari celah pintu mendengar suara Elena.
"Siapa itu Len?"
"Siapa apanya bu?"
"Nama siapa yang barusan kamu sebut? Doni Mahendra itu siapa?"
Tanya ibunya dengan nada penasaran."Oh itu nama mas Hendra bu."
"Doni? Namanya dari D juga? Ya ampun Len ibu pikir kamu udah gak tertarik sama yang namanya dari D lagi. Ternyata masih toh. hahaha."
Ibunya mendekati Elena lalu mengacak-acak poni Elena."Ih ibu apaan sih? kapan aku pernah bilang tertarik sama mas Hendra?"
Elena menjulurkan lidahnya pada ibunya yang senang meledek itu."Gak pernah sih."
"Nahkan makanya jangan sok tau bu."
Elena nampak memberikan senyuman kemenangannya."Kamu memang gak pernah bilang tapi matamu menunjukkan semuanya." Kini ibunya yang memberikan senyuman kemenangan.
"Apa sih ibu nih jadi suka melebih-lebihkan cerita."
"Hei , kamu gak liat kan tatapan mu saat kalian baru bangun tidur waktu itu? Ibu sampai teringat masa muda ibu sama ayah waktu malam pertama ahaha." Ibunya memegang kedua pipinya sendiri yang nampak merona mengingat kenangannya bersama ayah Elena.
"Apa sih ibu kenapa jadi nyambung-nyambung ke malam pertama deh."
Pipi Elena nampak memerah juga."Kenapa? Malu? Kamu itu sudah cukup umur untuk membicarakan itu. Malah seharusnya kamu sudah menikah."
"Ibu, anaknya masih lajang malah disuruh nikah. Ibu ini tega sekali."
Elena menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah sedih yang sangat nampak dibuat-buat."Makanya cepat cari calon."
"Bu ini kita lagi bahas inisial D loh awalnya, kenapa jadi bahas nikah sih. Udah ah aku mau hubungin mas Hendra. Hari ini ada meeting ,sedangkan aku belum kasih tau beberapa data yang harus dibawa saat meeting." Elena menuntun ibunya keluar kamar.
"Iya deh, kerja yang rajin ya. Salam buat menantu ibu."
"Hah? Menantu?"
"Iya Hendra maksudnya." Ibunya berlari ke dapur tanpa menghiraukan respon Elena selanjutnya.
"Ih ibuuuuu." Elena berteriak dengan nada manjanya.
Elena kembali masuk ke kamarnya, ia duduk di tepi tempat tidurnya. Ia kembali memandangi kartu nama tersebut. Ia nampak memperhatikan setiap nomer yang ada lalu mengetiknya di handphone. Lalu ia menyimpan nomer itu. Setelah itu ia nampak membuka buku catatannya, cukup lama ia memperhatikan catatannya itu.
"Oke jadi meeting hari ini pembahasannya tentang percepatan pembayaran."

KAMU SEDANG MEMBACA
White Balloon
Romance[COMPLETE] Elena adalah wanita karir yang sederhana. Namun hidup Elena berubah sejak perusahaan tempat ia bekerja diambil alih oleh anak sang pemilik perusahaan. Hari-harinya kini penuh dengan banyak kejutan. Apa yang terjadi antara Elena dan sang b...